Resume kitab “Ahlal Musamaroh” Hikayat Wali Sepuluh (Karya Syaikh Abil Fadhol ibn Abdil Syakur As-Senori, Tuban)




Sebelum memulai membaca isi dari resume kitab ini, kami mohon bacaan fatihah untuk para guru kami, utamanya Syaikhina KH. Imron Hasani Kholil (Selo), Syaikhina Maimun Zubair (Sarang), terlebih untuk mu’allif kitab ini beliau Syaikh Abil Fadhol (Senori). Semoga kitab ini memberikan manbfaat dzohir batin untuk kita semuanya. Sedangkan isi dalam kajian ini kami buat setidaknya menjadi 26 kali pertemuan kajian, dengan rincian sebagai berikut :

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi siapapun yang ingin mengkaji dan mempelajari sejarah perkembangan Islam di tanah jawa, dan semoga menjadi ilmu yang barokah dan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi seluruh masyarakat pada umumnya. Aamiin yaa Robbal ‘Aalamiin

                                                                                                                                Penulis,

                                                                                                                                Rifaudin Ahmad, S.Pd.I



KATA PENGANTAR SYAIKH ABIL FADHOL IBN ‘ABDIS_SYAKUR

 

Segala puji bagi Allah SWT yang telah membuat jelas atas manhaj istibshor pada diri kita, yang telah memerintahkan kita untuk senantiasa mengingat dan mencari pembelajaran dalam setiap peristiwa, sehingga DIA menceritakan kisah-kisah orang baik dan orang buruk kepada kita (dalam Al-Qur’an-Nya). Agar kita bisa mengambil pembelajaran atas apa yang terjadi pada mereka di waktu yang lalu dari masa ke masa. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan ke haribaan junjungan Nabi Agung Muhammad SAW yang diutus dengan memberi ancaman serta berita gembira. Beserta para keluarga, sahabat dan orang-orang terpilih yang memiliki akhlak mulia. Amma Ba’d

Syaikh Abul Fadhol bin ‘Abdis-Syakur, desa Senori Tuban berkata : Ketika mengenal sejarah adalah hal yang amat penting bagi orang-orang yang pandai berfikir serta pandai mencari pembelajaran hidup, sebab andai tidak seperti itu maka tidak mungkin Allah SWT menceritakan kepada kita tentang kisah-kisah umat terdahulu dari tahun dan masa terlewat dan tak mungkin pula Allah memerintah agar kita berjalan di muka bumi untuk mencari tahu atsar/bekas sejarah terdahulu, Maka kami melihat perlu untuk dibuat sebuah catatan ringkas untuk mengingatkan dan memberitahu kepada kami serta kepada orang-orang setelah kami tentang pelajaran hidup perjalanan sejarah masa lalu Negeri kami. Dan kami memberi nama kepada catatan ini “Ahlal Musamaroh” cerita sepuluh wali sebagai percontohan kami kepada para ulama’-ulama’ yang mulia, orang-orang pilihan di alam semesta, yang kami lihat mereka telah menulis sejarah-sejarah dari Negeri mereka dan apa yang terjadi pada para pendahulu mereka agar menjadi pembelajaran bagi orang-orang setelahnya. Semoga Allah SWT mensukseskan karya ini dengan sifat Pemberi-Nya serta sifat mulia-Nya. Aamiin

                                                                            Senori, Malam Ahad, 5 Muharram tahun 1381 H

 

Adapun dalam kajian ini kami buat setidaknya menjadi 26 kali pertemuan kajian, dengan rincian sebagai berikut :

Pertemuan 1 : Silsilah Syaikh Ibrahim As-Samarkand dan penyebaran Islam ke Negeri Campa

Pertemuan 2 : Keluarga Raja Brawijaya dan Penyakit aneh yang dideritanya

Pertemuan 3 : Keinginan Raja Brawijaya meminang adik ipar

Pertemuan 4 : Perjalanan Raden Raja Pandita dan Raden Rahmat (Dua Putera Syaikh Ibrahim As-samarkand) menuju Majapahit dan keadaan mereka sebagai muslim minoritas di majapahit

Pertemuan 5 : Daerah awal dakwah Raden Rahmat dan Raden Raja Pandita

Pertemuan 6 : Kisah Maulana Ishaq (Saudara Syaikh Ibrahim As-Samarkand) bertemu dengan Raden Rahmatulloh

Pertemuan 7 : Kisah Maulana Ishaq dengan raja Blambangan

Pertemuan 8 : Sayyid Abdul Qodir, Sayyidah Saroh dan ketiga Murid dari Yaman berguru ke Ampeldenta

Pertemuan 9 : Keturunan Para Wali

Pertemuan 10 : Murid-Murid Raden Rahmatulloh (Sunan Ampel)

Pertemuan 11 : Menantu Sunan Ampel dan Perjalanan menuju Gelagah Wangi

Pertemuan 12 : Proses mendirikan masjid Agung Demak Bintoro Wahdatul Wujud Syekh Siti Jenar

Pertemuan 13 : Wafatnya Sunan Ampel, Pengangkatan Raja Demak serta Penyerbuan ke Majapahit

Pertemuan 14 : Surat untuk Maja Pahit dan Perang di Tunggarana

Pertemuan 15 : Permintaan Bantuan Islam ke Demak dan Bantuan Majapahit ke Andaya Ningrat (Pengging) dan Betoro Katong (Ponorogo)

Pertemuan 16 : Perang di Kerawang Majapahit Siasat Perang Adipati Adipati Pecat Tundo.

Pertemuan 17 : Permintaan bantuan pasukan Islam pada Raja Pandhita di kerajaan Risbaya.

Pertemuan 18 : Laporan Ki Jaran Pamburu (Adipati Pakis) kepada Raja Majapahit dan Pertempuran di Mojo Lebak

Pertemuan 19 : Pertempuran di Mojo Agung

Pertemuan 20 : Wafatnya Raden Usman Haji (Sunan Ngudung) dan kembalinya kedua pihak ke kerajaan masing-masing

Pertemuan 21 : Nasehat Raden Paku kepada Raden Fatah dan Bantuan 2 kotak pusaka Arya Damar

Pertemuan 22 : Pernyerbuan kedua Majapahit dipimpin Raden Amir Haji (Sunan Kudus) dan Tragedi pembukaan salah satu Kotak Pusaka dari Arya Damar

Pertemuan 23 : Kotak Pusaka penebar wabah Pagebluk di Negeri Majapahit

Pertemuan 24 : Penyerbuan Pusat kota Majapahit

Pertemuan 25 : Kekuatan terakhir milik Majapahit di daerah terung

Pertemuan 26 : Akhir Kisah Adipati Pecat Tundo dengan Raja Demak



PENJELASAN MATERI


Pertemuan 1 : Silsilah Syaikh Ibrahim As-Samarkand dan penyebaran Islam ke Negeri Campa

Hanya Allah yang paling tahu kebenaranya. Terdapat 3 versi tentang silsilah Syaikh Ibrahim As-samarkandi sebagai berikut :

Pendapat 1 : Sayyid ibrahim memiliki saudara bernama sayyid Ishaq dan sayyidah Ashfa (isteri raja rum). Beliau bertiga putera/puteri sayyina Jumadil Kubro bin Sayyiddinaa Mahmud Al-Kubro bin Sayyidinaa Zainul Husein bin sayyidinaa Zainul Kubro bin Sayyidinaa Zainul ‘Adhim bin Sayyidina Husein bin Sayyidatina Fathimah binti Sayyidina  wa Maulana Rasulillah Muhammad SAW.



 

 

 

Pendapat 2 : Sayyid Ibrahim Asmoro memiliki anak bernama Maulana Ishaq. Beliau adalah anak dari Sayyidina Najmud-din Al-Kubro bin Sayyidina Mahmud bin sayyidina Al-Kubro bin Sayyidina ‘Abdul Rahman bin Sayyidinaa ‘Abdullah bin Sayyidina Syam’un bin Sayyidina Zainul Hasan bin Sayyidinaa Jumadil Kubro bin Sayyidina Zainul Kubro bin Sayyidina Zainul ‘Alam bin Sayyidina Zainal Abidin bin Sayyidina Husein bin Sayyidatina Fathimah binti Sayyidina  wa Maulana Rasulillah Muhammad SAW

 

 

Sedangkan Pendapat ke-3 menerangkan bahwa : Sayyidina Maulana Ishaq, Sayyidina Syekh Ibrahim Asmara dan Sayyidatina Ashfa adalah anak dari Sayyidina Najmud-din Al-Akbar bin Sayyidina Mahmud Al-Akbar bin Sayyidina ‘Abdul Rahman bin Sayyidina ‘Abdullah bin Sayyidina Ustar bin Sayyidina Najmud-din Al-Kabir bin Sayyidina Zainul Husein bin Sayyidina Zainul Hakam bin Sayyidina Zainul ‘Abidin bin Sayyidina Husein bin Sayyidatina Fathimah binti Sayyidina  wa Maulana Rasulillah Muhammad SAW

 

 

 



Diceritakan bahwa ketika Sayyid Ibrahim Asmoro telah mencapai masa dewasanya, beliau memulai mengembara menuju daerah bernama Cempa dan muqim disana hingga beberapa masa hingga memikat hati penduduk cempa dan akhirnya beliau dapat menghadap sang raja.

Ketika bertemu raja, terjadi dialog antar keduanya.

Raja : Wahai darwis (pemuda), siapa namanu dan apa tujuanmu datang kesini?

Sayyid Ibrahim menjawab : Nama saya Ibrahim. Aku datang menemuimu untuk mengajakmu berpindah dari menyembah berhala menuju menyembah pencipta alam semesta, masuk dalam agama yang benar nan suci yakni agama Nabi Muhammad SAW, ialah agama Islam. Adapun caranya cukup dengan mengucap 2 kalimah syahadat. 
 

Maka sang raja pun mengucapkanya dan keluarga, anak, isteri serta kerabat-kerabat beliau bahkan seluruh rakyatnya pun mengikutinya masuk dalam agama Islam. Dan sejak itu berhala-berhala dihancurkan dan didirikanlah masjid untuk beribadah. Saking kagumnya kepada sayyid Ibrahim Asmoro, maka sang raja selalu berusaha mendekati dan mencintai beliau dengan segenap perasaan ta’dhim.

Saat itu raja cempa memiliki 3 orang anak yakni :

1.       Dewi Martaningrum (yang telah diperistri oleh raja Brawijaya, raja budha penguasa Pulau Jawa)

2.       Dewi Condrowulan dan

3.       Raden Cengkara yang melanjutkan tampuk kepemimpinan setelah wafatnya sang ayah.

Maka oleh sang raja cempa, sayyid Ibrahim Asmoro dinikahkan dengan anak puterinya bernama Dewi Condro Wulan. Dan sang Dewi amat mencintai dan menaati suaminya juga amat taat kepada Allah SWT, pun beliau seorang wanita yang amat cantik, mempesona, juga kaya. Dari pernikahan mereka berdua lahirlah tiga orang anak bernama Raden Raja Pandita, Sayyid Rahmat, dan sayyidah Zainab.


 


Pertemuan 2 : Keluarga Raja Brawijaya dan Penyakit aneh yang dideritanya

 

Diceritakan bahwa di jazirah jawa saat itu dikuasai oleh raja beragama budha yang bernama Rangga Wijaya yang dikenal dengan gelarnya Raja Brawijaya. Beliau adalah raja terakhir dari raja-raja budha di jawa dan raja terakhir yang menguasai kerajaan majapahit.

Telah diceritakan sebelumnya bahwa Raja Brawijaya telah menikahi puteri raja Cempa bernama Dewi Martaningrum dan darinya sang raja memiliki tiga anak bernama :

1.       Putera Adi (yang menjadi isteri dari Daya Ningrat)

2.       Lembu Peteng (yang menjadi raja Madura), dan

3.   Raden Gugur (Beliau tidak diberikan daerah kekuasaan khusus, namun menjadi pendamping Raja yang melayani sekaligus membantu dalam mengatur urusan kenegaraan.

Selain itu Raja Brawijaya memiliki anak dari isterinya yang lain yang merupakan puteri dari Prabu Seksadana, yang mana anak ini bernama Prabu Arya Damar (Penguasa Palembang dan sekitarnya). Demikian pula Raja Brawijaya memiliki anak dari isterinya yang berada di ponorogo yakni bernama Betoro Katong (yang menjadi Penguasa wilayah Ponorogo) dan Ki Jaran Panulih (Penguasa Sumenep dan Sampang, Madura).

Kemudian Raja Brawijaya juga pernah menikahi puteri dari raja cina yang amat cantik mempesona dan amat ia cintai. Ketika sang puteri ini mengandung dari calon anaknya, dan waktu kelahiran sang anak hampir tiba, kala itu raja Brawijaya justeru menghadiahkan istrinya ini kepada anaknya yang menjadi penguasa Palembang yakni Arya Damar dengan wasiat agar jangan pernah ia menyentuh puteri dari cina ini sebelum melahirkan anaknya tadi. Maka diboyonglah sang puteri raja cina tadi menuju ke negeri Palembang oleh Prabu Arya Damar.  

Ketika sampai masa kehamilan telah sampai pada usia 11 bulan, maka lahirlah seorang bayi laki-laki yang amat rupawan yang diungkapkan dengan syair :

Bak rembulan memancarkan cahaya         #             Gelap malam sirna olehnya

Cahya benderang telah membuka              #             Petunjuk bagi alam semesta

Dan oleh Prabu Arya Damar anak ini diberi nama Raden Fatah (yang Pembuka), yang atas jasanya pula Agama islam mulai terbuka di jazirah jawa sebagaimana keterangan yang akan dijabarkan pada pertemuan selanjutnya. Setelah itu, Prabu Arya Damar menjadikan puteri raja cina tadi sebagai isteri hingga sang puteri pun mengandung anak keduanya. Maka setelah usia kandunganya genap 9 bulan lahirlah seorang anak laki-laki yang bercahaya jidatnya yang kemudian oleh sang ayah ia diberi nama Raden Husein (yang kelak dalam perjalanan sejarah dikenal sebagai Adipati Pecat Tundo). Sehingga untuknya diucapkan sebuah syair :

Jidat yang ada dibawah rambutnya          #             Bagai purnama di malam gulita

Terlihat rembulan bersinar cahaya           #             Pada wajah dan indahnya mata

Diceritakan berikutnya bahwa raja Brawijaya menderita penyakit aneh yang tak ada satupun tabib mampu menyembuhkanya. Kemudian berkatalah padanya salah seorang dukun bahwa penyakitnya itu tidak akan bisa sembuh kecuali ia harus menikahi seorang wanita bernama Wandan Kuning, yakni seorang rakyat jelata yang berwajah jelek. Maka amat engganlah hati sang raja untuk melakukan hal itu, namun demi mengharap kesembuhan atas penyakitnya, iapun terpaksa menikahi wanita bernama Wandan Kuning yang diceritakan tadi. Setelah tiga hari menikah dengan Wandan Kuning, ternyata penyakit sang raja mulai berangsur sembuh sedikit demi sedikit, hingga akhirnya dalam waktu singkat sang Raja Brawijaya pun sembuh secara total. Tak lama kemudian wandan kuning pun hamil dan setelah sempurna usia kehamilanya, maka lahirlah seorang anak yang amat rupawan yang oleh raja Brawijaya ia diberi nama Bondan Kejawen.

Saat itu pula timbulah perasaan malu pada diri sang raja sebab memiliki istri dari golongan rakyat jelata. Raja Brawijaya merasa malu pada para keluarga dan pejabat kerajaan hingga akhirnya ia pun mengusir Wandan Kuning dari kerajaan Majapahit dan menyerahkan dia beserta anaknya kepada seorang petani di desa Karang Jambu. Sang anak tumbuh dengan baik di desa tersebut hingga akhirnya disana ia lebih dikenal dengan sebutan Lembu Peteng. Merasa hidup yang amat sulit dan keadaan yang serba kekurangan saat bekerja menjadi petani disertai perasaan malu pada tetangga sekitar yang telah menebar berita bahwa ia adalah anak raja yang malang sebab hidup dalam strata sosial bawah maka Raden Bondan Kejawen muda ini pun bersedih.

Raden Bondan Kejawen berfikir tentang nasib dirinya dan merasakan sakit hati yang luar biasa kala memikirkan nasib tersebut, hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengembara keluar dari desanya. Dalam perjalananya mengembara itu sampailah ia pada sebuah gunung bernama Kadiyeng. Ia berhenti menyepi disana untuk bertapa/riyadloh, mencegah dari dari hawa nafsu, menyedikitkan makan minum, sedikit tidur, berharap mendapatkan obat dari rasa sakit dalam ulu hati yang ia derita kala itu. Maka setelah lama ia bermuqim/bertapa disitu, terdengar olehnya hatif (suara tanpa rupa) yang membisikinya seraya memberi nasehat agar ia pergi ke suatu tempat dan menemui alim-alimnya orang di zaman itu untuk berkhidmah dan menaati orang alim tersebut.

Akhirnya Raden Bondan Kejawen memutuskan untuk turun gunung dan menempuh perjalan menaiki bukit menuruni lembah melalui banyak wilayah keluar masuk dari daerah satu ke daerah lainya dengan tetap meninggalkan makan minum, dengan berjalan kaki dan tanpa istirahat juga tanpa tidur. Dengan “lelaku” seperti itu ia menginginkan agar derajatnya diangkat oleh Tuhan Yang Maha Esa dan juga dimuliakan di sisi manusia, hingga dalam perjalanan itu ia sampai pada suatu daerah yang dipimpin oleh salah seorang ketuanya bernama Ki Ageng Tarub.

Setelah bertemu ki Ageng tarub, pemuda bernama Raden Bondan Kejawen tadi ditanyai tentang apa maksud dan tujuanya menemui ki Ageng Tarub. Maka Raden Bondan Kejawen muda tadi pun menceritakan tujuanya untuk bertabarruk dan berkhidmah kepada Beliau Ki Ageng Tarub. Setelah melihat sinar pada wajah Raden Bondan kejawen muda tadi, Ki Ageng Tarub sudah bisa menebak bahwa pemuda yang berada dihadapanya itu bukanlah pemuda sembarangan, sebab ia terlihat memiliki sinar seperti seorang anak raja. Setelah menuturkan tentang siapa nama diri dan nama ibunya, serta daerah asal sang pemuda itu, maka Ki Ageng Tarub langsung mengetahui siapa pemuda di hadapanya itu dan apa yang telah terjadi kepadanya. Ki Ageng Tarub pun  amat senang atas kedatangan Raden Bondan Kejawen dan beliau menerima maksud dari Raden Bondan Kejawen seraya berpesan agar beliau bersungguh-sungguh mengabdi dengan niat yang kuat diiiringi riyadhoh untuk memperoleh apa yang menjadi cita-citanya.

Raden Bondan Kejawen atau yang dikenal sebagai Raden Lembu Peteng ini pun berkhidmah siang dan malam, tanpa terputus riyadhohnya hingga membuat Ki Ageng Tarub merasa takjub atas ketaatan dan keteguhan khidmahnya. Beliau amat mencintai raden Bondan Kejawen ini dan saking cintanya beliau kepadanya pada akhirnya Raden Bondan Kejawen ditawari agar berkenan diambil menantu untuk dinikahkan dengan Nawangsih puterinya. Maka dengan ketaanya pula, beliau sendiko dawuh atas titah sang Guru.

Dari kisah ini dapat kita simpulkan bahwa, “hendaknya para pemuda itu memiliki cita-cita yang luhur, meninggalkan segala kenikmatan makan, minum, dan tidur diatas kasur yang empuk untuk mencari masa depan yang mapan, serta bersungguh-sungguh melakukanya siang dan malam. Sebab Upah itu tergantung bagaimana kesungguhan kita”.

Wallohu a’lam


 

 

 

 

Pertemuan 3 : Keinginan Raja Brawijaya meminang adik ipar

Pada suatu hari ketika Raja Brawijaya sedang berbincang-bincang dengan isterinya Ratu Martaningrum, sang Ratu memberi tahu bahwa Beliau memiliki seorang adik bernama Condrowulan. Ia amatlah cantik dan menjadi wanita paling mempesona di zaman itu.

Ketika mendengar apa yang disampaikan oleh sang ratu, maka timbulah keinginan Raja Brawijaya untuk meminang adik sang ratu tadi dan menjadikanya isteri untuk hidup bersama di kerajaan Majapahit. Maka Raja Brawijaya memanggil salah satu menteri kepercayaanya bernama Arya Bangah dan menitahkan kepada sang menteri untuk menjadi utusanya menemui raja Cempa dalam rangka meminang Dewi Condrowulan agar bersedia menjadi isterinya. Maka Menteri bernama Arya Bangah ini undur diri untuk menjalankan titah sang Raja menuju kerajaan Cempa. Selama perjalanan beliau bersenandung :

Aku keluar untuk hajat yang bukan hajatku         #             Aku ingin Tuanku meridloiku

Andai bukan karenanya tak mungkin hatiku         #             terbesit meski hanya secuil debu

Menuju Raja di Negeri jauh disana                           #             Mengambil puteri cantik bak purnama

Maka Arya Bangah pun selalu berlayar hingga sampailah ia pada negeri Cempa. Namun kaget tak terkira ketika ia mengetahui bahwa sang raja telah wafat dan raja berikutnya adalah anaknya bernama Raja Cengkara sebagaimana keterangan sebelumnya dan bahwa puteri sang raja bernama Dewi Condrowulan kini telah dinikahi oleh seorang pemuda bernama Ibrahim Asmoro yang kala itu sang Dewi telah memiliki tiga orang anak. Maka bersusahlah hati Arya Bangah sebab ia merasa perjalananya sia-sia dan tak mampu menjalankan tugas dari Raja Brawijaya.

Saat bertemu dengan raja Cengkara, Arya Bangah ditanyai tentang siapa nama dan apa tujuanya datang ke Negeri Cempa. Maka Arya Bangah memberitahukan siapa nama dan tujuan kedatanganya sebagai utusan dari Raja Brawijaya penguasa tanah Jawa untuk menyampaikan salam dari sang raja juga dari Ratu Martaningrum kakaknya serta untuk berta’ziyah atas wafatnya sang Raja Cempa yang baru saja meninggal dunia. Arya bangah menyampaikan penyesalan bahwa sang Raja Brawijaya tidak bisa datang sendiri sebab tidak diberi kabar dari kerajaan cempa atas wafatnya ayah mertua. Maka Raja Cengkara menjawab bahwa beliau tidak memberi kabar kepada Raja Agung Brawijaya adalah sebab merasa hina diri untuk memberi tahu sang raja, serta kuatir mendapat murka sang raja sebab juga tidak memberitahukan semenjak sakitnya sang mertua yakni raja cempa.

Maka raja Cengkara memuliyakan serta menjamu dengan baik utusan dari Raja Brawijaya ini. Kala itu Arya Bangah tidak memberitahukan tujuan utama untuk meminang Dewi Condrowulan dan lebih memilih menjaga perasaan raja Cengkara.

Ketika Arya Bangah hendak berpamitan pulang ke negeri Majapahit, kala itu Raja Cengkara berkata kepada Arya Bangah agar berkenan membawa surat dan perhiasan untuk disampaikan kepada kakaknya Ratu Martaningrum yang telah menjadi isteri Raja Brawijaya. Maka Arya Bangah pun pulang ke Maja Pahit dengan surat dan perhiasan yang dititipkan oleh Raja Cengkara tadi. Sesampai di Majapahit, Arya Bangah menceritakan apa yang telah terjadi serta menyampaikan penyesalanya karena merasa gagal dalam menjalankan tugas sebab dewi condrowulan telah menjadi isteri orang arab bernama Ibrahim Asmoro. Ia juga bercerita bahwa dewi Condrowulan dan suaminya tadi telah memiliki tiga orang anak dan pasca kemangkatan raja cempa kini tampuk kepemimpinan telah diserahkan kepada anaknya yang bernama Raja Cengkara. Beliau menyampaikan surat dan juga perhiasan yang dititipkan oleh raja cengkara kepada Raja Brawijaya, namun Raja Brawijaya meminta agar Arya Bangah menyampaikan dua barang titipan tadi langsung kepada Ratu Martaningrum dan berpesan agar berita wafatnya raja Cempa tidak disampaikan kepada sang ratu agar beliau tidak bertambah sedih.

Maka Arya Bangah pun memasuki kapuntren dan bertemu dengan ratu Martaningrum menyampaikan surat dan perhiasan yang dititipkan oleh Raja Cengkara untuknya. Setelah menerima kedua barang itu, sang ratu justeru berteriak histeris dan menangis keras hingga ia pingsan sehingga seluruh penduduk istana terkaget kala mendengar jeritan dan tangisan sang ratu. Seketika Raja Brawijaya yang berada di ruang Istana berdiri dan berlari menuju kaputren seraya memuncak amarahnya kepada Arya Bangah yang ia duga telah memberi kabar kemangkatan raja cempa kepada sang ratu. Segera Raja Brawijaya menuju ratunya yang tengah tergeletak itu seraya bertanya apa yang terjadi kepada ratunya yang mulai siuman. Ternyata Ratu Martaningrum menjelaskan bahwa beliau pernah diwasiati oleh ayahnya jika suatu saat nantinya telah datang kepadanya sebuah surat beserta perhiasan dari cempa maka saat itu ayahnya telah wafat. Dan saat telah menyaksikan kedua benda tadi benar-benar sampai pada sang Ratu beliau sudah tahu bahwa ayahnya benar-benar telah meninggal dunia.


Pertemuan 4 : Perjalanan Raden Raja Pandita dan Raden Rahmat (Dua Putera Syaikh Ibrahim As-samarkand) menuju Majapahit dan keadaan mereka sebagai muslim minoritas di majapahit

Ketika Raden Raja Pandita dan saudaranya Raden Rahmat telah beranjak dewasa, mereka meminta ijin kepada kedua orang tuanya yang berada di Cempa untuk mengunjungi bibi-nya Ratu Martaningrum isteri dari Raja Brawijaya Penguasa Majapahit. Maka orang tua mereka Sayyid Ibrahim Asmoro dan Dewi Condrowulan mengijinkan mereka berdua untuk berkelana dengan didampingi oleh seorang pembantunya bernama Abi Hurarirah. Maka ketiga pemuda itu keluar dari Negeri Cempa mencari kapal yang dapat membawa mereka menuju pulau jawa. Mereka berjalan hingga menemukan daerah bernama kupeng dan menemukan kapal pedagang disana yang mengangkut warga Gresik.

Maka salah satu dari ketiga pemuda tadi mengusulkan untuk ikut menaiki kapal tadi menuju ke kota gresik jawa timur. Selama 7 hari mereka berlayar, kondisi angin masih bersahabat. Namun ketika berada di tengah samudera, tiba-tiba kondisi angin berubah drastis dan kapal yang ditumpangi oleh ketiga pemuda tadi karam oleh ombak besar hingga pecah dan mereka bersama para penumpang kapal terombang-ambing di tengah samudera hingga terdampar di sebuah daerah Kamboja. Raja kamboja yang mendengar berita tersebut kemudian memerintahkan agar mengambil sisa-sisa kapal dan harta yang terbawa hingga ke pantai serta menawan seluruh penumpang kapal dan membakar sisa-sisa kapal tersebut.

Ketiga pemuda tadi ikut tertawan oleh pasukan raja kamboja, sehingga mereka bertiga bermusyarah tentang kondisi yang saat ini mereka alami. Akhirnya mereka sepakat untuk meminta tolong kepada Raja Brawijaya agar berkenan membebaskan mereka dari tawanan raja kamboja, sebab saat itu kerajaan kamboja takhluk oleh kekuasaan Majapahit. Maka kala itu mereka bertiga membayar utusan dari rakyat kamboja untuk mengadap raja Majapahit dan memberitahukan keadaan yang telah terjadi pada diri ketiga pemuda tadi.

Ketika utusan tadi telah menghadap Raja Majapahit, ia memberitahukan perihal yang sedang terjadi pada keponakan beliau yakni para putera dari Dewi Condrowulan bernama Sayyid Raja Pandhita, Sayyid Rahmat dan pembantunya bernama Abu Hurairah kepada sang Raja. Mereka bertiga yang awalnya hendak mengunjungi bibi-nya Ratu Martaningrum terhambat perjalananya sebab kapal yang ditumpangi karam dan mereka ditangkap oleh raja kamboja, serta kapal mereka telah dibakar oleh sang raja. Mereka amat susah dan berusaha meminta tolong kepada raja Brawijaya agar membebaskan mereka dari tawanan raja kamboja.

Saat mendengar keterangan utusan ketiga pemuda tadi, Raja Brawijaya terketuk hatinya kala melihat isteri tercintanya Ratu Martaningrum menangis meratapi nasib kedua keponakan beliau beserta seorang pembantunya tadi. Raja Brawijaya segera memanggil menteri kepercayaanya Arya Bangah agar mendatangi negeri kamboja untuk menyelamatkan ketiga pemuda. Setelah meminta ijin kepada Sang Raja, Arya Bangah beserta sepuluh prajurit khusus dengan membawa perlengkapan perang lengkap pun berangkat menuju kerajaan Kamboja.

Setelah sampai di negeri kamboja, Arya Bangah menyampaikan maksud dan tujuan kedatanganya ke Negeri tersebut untuk memastikan kebenaran cerita bahwa Raja Kamboja benar-benar telah menawan kedua keponakan Raja Agung Brawijaya bersama seorang abdi setianya. Adapun jika memang benar seperti itu keadaanya maka Raja Brawijaya ingin agar ketiga pemuda tadi dibebaskan agar dapat bersama mereka melanjutkan perjalanan menuju Majapahit. Maka setelah mendengar ucapan Arya Bangah Raja Kamboja itu merasa takut dan akhirnya ia membebaskan ketiga pemuda yang ikut menjadi tawananya. Pada akhirnya mereka bertiga bebas dan dapat melanjutkan perjalanan menuju ke Majapahit. Setelah bertemu dengan Raja Majapahit dan ketiga-nya menceritakan perihal yang mereka alami, maka Raja Brawijaya meminta ketiga pemuda tadi untuk bermuqim di Majapahit agar bisa diperlakukan sebaik mungkin. Hal ini terjadi pada awal abad ke-6 Hirriyyah.

Prabu Brawijaya amat mencintai kedua pemuda ini hingga mereka dianggap seperti anaknya sendiri dan diberikan segala yang mereka inginkan. Akan tetapi mereka berdua terlihat susah dan tertekan, sebab melihat negeri Majapahit pada khususnya dan negeri jawa pada umumnya tidak ada yang memeluk agama Islam. Ketika mereka berdua hendak shalat, banyak orang-orang Majapahit yang mencomooh dan melecehkan mereka. Menganggap mereka orang bodoh sebab melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh siapapun seperti menghadap qiblat berdiri seraya membaca kalimat layaknya mantra bagi mereka, rukuk, I’tidal, sujud, duduk, tasyahud dsb yang mana hal seperti itu belum pernah dilakukan oleh orang-orang selain mereka berdua. Maka salah seorang dari tokoh agama budha kala melihat seperti itu, ia memberikan nasehat kepada orang-orang di sekitarnya agar tidak menghina mereka sebab bagaimanapun juga mereka berdua memiliki Tuhan yang berbeda dari Tuhan-nya orang-orang budha kala itu. Mereka dinasehati untuk tidak mengganggu, tidak mencela dan tidak merendahkan orang yang sedang menyembah Tuhanya.

Dari kisah ini kita diberi pelajaran bahwa seorang Muslim hendaknya tidak merasa malu untuk menjalankan perkara yang diwajibkan oleh Allah SWT untuk dilakukan dan jangan sekali-kali takut pada orang-orang yang mencela dalam usaha kita untuk mencari ridlo Allah SWT.

Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama’ :

Keimanan seseorang tidaklah sempurna          #             Hingga manusia dan unta sama baginya

Pujian dan hinaan mereka sama saja                #             tak takut hinaan bagi orang mulia

 Kala itu di Negeri Pajajaran hiduplah seorang raja bernama Arya Banjar putera dari Raja Mundi Wangi. Arya Banjar memiliki seorang anak bernama Arya Metahun dan Arya Metahun ini memiliki anak perempuan bernama Rondo Kuning. Rondo Kuning ini memiliki tiga anak bernama Arya Galuh, Arya Tanduran dan Arya Bangah. Arya Bangah pun memiliki tiga anak bernama Arya Baribin, Arya Tejo dan Ki Tarub. Arya Baribin memiliki dua anak bernama Madu Retno dan dan Jaka Qondar. Sedang Arya Tejo Memiliki dua anak bernama Condrowati dan Raden Syakur. Dan ki tarub memiliki tiga anak bernama Nawangsih, Nawangsasi dan Nawang Arum. Adapun kisah selanjutnya yang berhubungan dengan hal ini akan dijelaskan.

 


Pertemuan 5 : Daerah awal dakwah Raden Rahmat dan Raden Raja Pandita

Ketika Raden raja pandhita dan Raden Rahmat hendak pulang menuju negeri cempa sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa mereka berdua amat bersedih atas keadaan yang mereka alami. Maka kedua raden ini menemui Raja Brawijaya dan menyampaikan keinginan mereka berdua. Namun Raja Brawijaya melarang mereka untuk pulang ke Cempa sebab Beliau enggan berpisah dari kedua keponakanya tersebut. Raja Brawijaya menawari agar mereka memilih daerah sesuka hati dari wilayah kekuasaan majapahit jika maksud keingin pulangan mereka ke Cempa adalah untuk menguasai suatu wilayah dan menawari mereka berdua untuk menikahi siapapun yang mereka inginkan dari puteri-puteri menteri dan pegawai kerajaan jika keinginan pulang sebab hendak menikah. Hal itu dilakukan oleh sang Raja sebab beliau telah mendengar bahwa kerajaan-kerajaan di daerah negeri Kupeng, Kalkuta, Jiran, malibar dan sekitarnya telah dikalahkan oleh Raja Hindustan. Semua Negeri besar kala itu tunduk kepada Hindustan kecuali kerajaan Cempa yang kala itu sedang berkecamuk perang melawan Hindustan. Maka setelah mendengar penjelasan Raja Majapahit, kedua pemuda yakni Raden Raja Pandhita dan Raden Rahmat tadi mengikuti saran sang Raja untuk menetap di Majapahit.

Setelah peristiwa tersebut, Raja Brawijaya menikahkan kedua keponakanya, yakni Sayyid Raja Pandhita dinikahkan dengan Dewi Maduretno (puteri dari Arya Baribin) di Negeri Risbaya. Setelah menikah, sayyid Raja Pandhita bermuqim di daerah bernama Sinabun. Sedangkan Sayyid Raden Rahmat dinikahkan dengan Dewi Condrowati (Puteri dari Arya Tejo) dan setelah pernikahanya mereka muqim di daerah bernama Ampel Denta atau Ampel Gading yang berwilayah di Surabaya. Adapun abdi kedua raden tadi yang bernama Abu Hurairah dinikahkan dengan seorang wanita di daerah Tanggri’an bernama Samirah binti Husain (Seorang petani kapas) dan Abu Hurairah muqim disana menjadi tukang tenun kapas serta pembantu setia Sayyid Rahmat dan bertugas menghidupkan lampu masjid dengan kapas buatanya. Sebab inilah Abu Hurairah dikenal dengan sebutan Ki Ageng Kapas.

Perjalanan Sayyid Raden Rahmat juga diiringi oleh seorang pemuda Maja Pahit bernama Wira Jaya yang pada akhirnya ia dijadikan kepala desa dan oleh Sayyid Raja Pandhita beliau diminta menjadi tukang pandai besi.

Adapun Sayyid Raja Pandhita memiliki 3 orang anak bernama : Haji Usman, Usman Haji danNyai Ayu Gedhe Tundho.

Sedang pernikahan Sayyid Raden Rahmat dengan Dewi Condrowati memiliki lima orang anak bernama : Sayyidah Syarifah, Sayyidah Mutmainah, Sayyidah Hafshoh, Sayyid Ibrahim (Sunan Bonang) dan Sayyid Qosim (Sunan Derajat). Kemudian sayyid Raden Rahmat menikah lagi dengan wanita bernama Mas Karimah binti Ki Bang Kuning dan dari pernikahan ini lahirlah kedua anak perempuanya bernama : Dewi Murtiah dan Dewi Murtasimah. Ke tujuh putera puterinya ini belajar ilmu agama dari sang ayah dengan baik.

Adapun putera dan puteri dari Ki Ageng Tarub yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Nawangsih dinikahi oleh Raden Bondan Kejawen/Lembu Peteng bin Brawijaya maka beliau memiliki anak bernama Getas Pendowo. Sedang puteri Ki Ageng Tarub yang bernama Nawang Sasi menikah dengan Raden Joko Qondar dan muqim di daerah Melaya, Bangkalan, Madura dan memiliki 2 anak bernama Asiyah dan Dewi Irah. Sedang puteri ke-3 Ki Ageng Tarub yang bernama Nawang Arum menikah dengan Raden Syakur yang menjadi penguasa Negeri Wilatikta yang terkenal sebagai tumenggung Wilatikta.

Dan telah diterangkan sebelumnya bahwa daerah Pajajaran yang dikuasai oleh Raja Mundiwangi dari pernikahan dengan isteri keduanya memiliki anak bernama Ciung Menara dan Ciung Menara ini memiliki anak bernama Bambang Wecana dan Bambang Wecana memili anak bernama Bambang Pamengker yang menolak menjadi sekutu dibawah kerajaan Majapahit dan memilih berkuasa sendiri di bawah gunung Semeru. Bambang Pamengker memiliki anak bernama Minak Prenggula dan minak Prenggula memiliki anak bernama Minak Sembayu yang menjadi Raja di Kerajaan Blambangan. Adapun hubunganya akan dikisahkan dalam cerita selanjutnya.


 


Pertemuan 6 : Kisah Maulana Ishaq (Saudara Syaikh Ibrahim As-Samarkand) bertemu dengan Raden Rahmatulloh

Adapun Sayyid Maulana Ishaq yang telah disinggung sebelumnya adalah saudara dari Sayyid Syekh Ibrahim Asmoro. Ketika telah mencapai pada usia mudanya, Beliau berkelana di penjuru dunia hingga sampailah kepada suatu negeri bernama Pasai yakni sebuah negeri yang terletak di Pulau Sumatera. Beliau muqim disana dan memiliki dua orang keturunan bernama Sayyid Abdul Qodir dan seorang anak perempuan bernama Saroh.

Setelah dari Sumatera, beliau melanjutkan perjalanan menuju pulau Jawa dan meninggalkan kedua putera/puterinya yang masih kecil di Pasai. Maulana Ishaq berlayar mengikuti kapal milik seorang pemuda warga Gresik dan perjalananya aman hingga sampailah Beliau di kota Gresik, lalu menetap disana beberapa waktu. Dari sana Beliau berjalan menuju ke kota Surabaya hingga sampailah beliau di daerah Ampeldenta saat waktu ashar. Ketika Beliau memasuki wilayah Ampeldenta, terlihat olehnya bahwa Sayyid Raden Rahmat sedang menjadi Imam sholat ashar diikuti tiga orang yang makmum kepada beliau di sebuah Masjid di Ampeldenta. Ketiga makmum itu adalah Ki Ageng Kapas atau Abu Hurairah, Ki Wirajaya yang menjadi Kepala Desa Ampeldenta dan Ki Bang Kuning mertua Raden Rahmat. Maka sayyid Maulana Ishaq menunggu sholat mereka hingga selesai dari luar masjid. Setelah Raden Sayyid Rahmat selesai dari sholatnya, maka Sayyid Maulana Ishaq mengucap salam dan merekapun saling berbincang tentang siapa nama diri dan nama ayah mereka masing-masing. Dari situ Sayyid Maulana Ishaq mengetahui bahwa yang dihadapanya adalah anak dari saudaranya sendiri yakni Sayyid Ibrahim Asmoro. Maka Sayyid Raden Rahmat menjelaskan bahwa di pulau jawa belumlah ada pemeluk Islam selain dari beliau, saudaranya bernama Raden Raja Pandhita, dan saudaranya Abu Hurairah. Mereka adalah orang yang pertama kali beragama Islam di pulau jawa ini. Sebab itulah Sayyid Maulana Ishaq memberikan gelar kepada Sayyid Raden Rahmat dengan sebutan Sunan Maqdum. Sunan artinya orang yang menjadi imam/panutan dan maqdum artinya orang yang pertama kali mendahului penduduk jawa dalam ke-Islamanya. Maka banyak orang memberi gelar demikian seperti ini kepada Sayyid Raden Rahmat.

Sayyid Raden Rahmat tidak pernah berhenti mengajak orang untuk masuk agama Allah dan menyembah-Nya hingga banyak dari sebagian besar penduduk ampeldenta mengikuti ajakan beliau dan lambat laun Islam menyebar ke daerah-daerah sekitar hingga ke seluruh kota Surabaya. Keberhasilanya ini sebab bagusnya mau’idloh/nasehat Beliau yang mengajak dengan hikmah dalam berdakwah, berakhlak yang baik kepada sesama manusia serta mujadalah/adu argumen dengan cara terbaik sebagai wujud pengamalan perintah Allah SWT :

 

125. Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl (16) : 125)

 

088. Janganlah sekali-kali kamu menujukan pandanganmu kepada keni`matan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu), dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman. (QS. Al-Hijr (15) : 88)

 

017. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS.Luqman (31) : 17)

Maka demikian pula-lah hendaknya para pemimpin Islam serta para Masyayikhnya menempuh pada jalan yang diridloi hingga banyak manusia yang mau masuk Agama Allah secara berbondong-bondong. Sebuah Sya’ir mengatakan :

Berikan maaf, dengan baik ajaklah           *             dari orang bodoh kamu berpalinglah

Lemah lembut kepada semuanya             *             Harga dirimu kan tetap terjaga

Teguhkan sabar saat susah melanda       *             Agar iman nyata jadi sempurna

Kemudian setelah beberapa waktu bercengkrama, maulana Ishaq pun undur diri keluar dari ampeldenta untuk melanjutkan perjalananya menuju arah tenggara menaiki gunung menuruni lembah hingga beliau sampai pada suatu daerah bernama Banyuwangi. Beliau bermuqim di sebuah gunung disana tepatnya pada sebuah tempat bernama Selangu. Disana Beliau menyendiri, bertafakkur, mencari Ridlo Allah SWT dalam beribadah, melakukan sholat fardlu dan sholat sunnah, melakukan puasa untuk mencari ridlo dari Allah SWT Dzat yang Maha Rohman, menjauhi berbagai macam kemaksiyatan, serta melanggengkan dalam mujahadah/memerangi hawa nafsu dan syaithon. Melatih hati dalam maqom tajridnya, membersihkanya dari berbagai kemewahan-kemewahan duniawi seraya memuji dan bersyukur kepada Tuhanya, serta selalu merendahkan diri kepada Allah SWT untuk membersihkan syirik khafi dalam hatinnya, berharap Allah SWT memberi rizki kepada Beliau berupa manisnya keimanan dan keyakinan yang hakiki.


Pertemuan 7 : Kisah Maulana Ishaq dengan raja Blambangan


Adapun minak sembayu Raja Blambangan yang telah disebutkan dalam kisah sebelumnya, ia memiliki seorang anak perempuan bernama Dewi Sekardadu yang amat cantik rupawan dan membuat akal seluruh pemuda yang melihatnya pasti akan jatuh hati. Sebagaimana ungkapan sebuah syair :

Wajah yang menyihir bagaikan purnama            *             Rambut hitam malam nan gelap gulita

Cahaya bibir iringi senyumanya                                                *             Kilat menyambar mata yang melihatnya

Jalannya membelalakan semua mata                    *             melihat paras bak sedang mabuk cinta

Datang bersama gandiwa yang melesat                              *             Dalam hati sanubari kan menancap

Perginya kan menyisakan kepedihan                     *             yang tak mungkin mudah tuk dilupakan

Kala itu Dewi Sekardadu sedang menderita suatu penyakit yang sulit disembuhkan oleh siapapun juga. Banyak dukun yang mencoba, namun tiada satupun yang berhasil menyembuhkan. Hal ini membuat hati Raja Minak Sembayu amat bersedih hati hingga ia memutuskan untuk membuat sayembara kepada para menteri juga kepada siapapun jua rakyat yang hidup di daerah kekuasaanya dengan janjinya bahwa siapapun yang mampu mengobati penyakit sang puteri maka akan dinikahkan dengan puteri tersebut dan akan diberikan untuknya separuh dari wilayah kekuasaan. Maka pengumuman ini telah tersebar di seluruh wilayah kekuasaan kerajaan Blambangan, namun tak ada satupun orang yang mampu menjawab sayembara ini. Maka pada suatu ketika, salah seorang menteri kerajaan memberikan nasehat kepada sang raja bahwa ia pernah melihat seorang pemuda yang mengenakan jubah dan kopiyah berwarna putih yang sedang bertapa di gunung Selangu menyendiri dari keramaian dalam tiap ahwal dan tindak lakunya. Setiap matahari tergelincir, dilihatnya pemuda tadi berdiri dengan meletakan kedua tangan pada dada, serta mengucapkan beberapa mantera, lalu ia meletakan dua tangan tadi pada kedua lututnya beberapa waktu kemudian ia kembali berdiri dan ia turun meletakan kning pada tanah lalu ia duduk dan mengulangi hal yang sama hingga pada akhirnya pemuda tadi menoleh ke arah kanan dan kiri. Pemuda itu melakukan hal yang sama ketika matahari mulai condong dan setelah matahari terbenam, dan beberapa waktu setelahnya. Lalu pemuda itu melakukanya lagi sebelum matahari terbit. Hal demikian ia lakukan berulang-ulang setiap harinya. Maka sang raja minak sembayu dinasehati agar mencoba menawari agar pemuda itu mau mengobati yang mulia puteri, siapa tahu pemuda tadi bisa menyembuhkan sang puteri raja Dewi Sekardadu. Maka dengan segera Raja Minak Sembayu memerintahkan salah satu menterinya untuk memanggil pemuda yang dimaksudkan tadi.

Sang menteri akhirnya memerintah salah satu prajuritnya untuk menemui Maulana Ishaq dan meminta agar beliau berkenan menghadap kepada Raja Blambangan untuk mengobati puteri raja tadi. Setelah Maulana Ishaq benar-benar hadir di hadapan sang Raja, maka dijelaskanlah soal penyakit yang diderita oleh buah hatinya yang saat itu sedang terkulai lemas diatas ranjang dan telah banyak dari para Tabib yang mencoba mengobati namun tak ada satupun dari mereka yang berhasil. Maka diberitahukanlah soal sayembara yang pernah diadakan di Negeri Blambangan kepada Maulana Ishaq bahwa siapapun yang berhasil menyembuhkanya akan dijadikan menantu Raja Blambangan dan diberi separuh dari kekuasaan sang Raja.

Setelah mendengar penjelasan tersebut, Maulana Ishaq berdoa kepada Allah SWT dengan khusyu’ memohon agar Allah SWT berkenan menyembuhkan Puteri bernama Dewi Sekardadu itu. Atas izin Allah SWT seketika itu pula sang puteri langsung sembuh dan bisa berdiri tegak layaknya orang sehat. Maka sang raja menepati janjinya menikahkan Maulana Ishaq dengan Puterinya bernama Dewi Sekardadu serta memberikan separuh kekuasaan kerajaan Blambangan kepada beliau. Hal ini yang justeru mempermudah Beliau dalam berdakwah mengajak manusia untuk memeluk Islam hingga banyak dari rakyatnya yang telah berpindah agama menjadi Muslim.

Suatu ketika, Maulana Ishaq menghadap raja Blambangan dan berkata kepada sang raja : “Wahai ayahanda, sesungguhnya aku ingin mengajak engkau meninggalkan berhala-berhala yang kau sembah serta syetan yang kau ikuti menuju penyembahan kepada Allah SWT Dzat yang Maha mengurus, yang menghidupkan dan mematikan, yang menguasai alam semesta. Ucapkanlah oleh engkau dua kalimah syahadat”. Maka ketika mendengar ucapan menantunya itu sang raja marah besar dan wajahnya merah padam hingga ia mengeluarkan pedang dari sarung yang berada disampingnya seraya berkata : “Jika engkau tidak segera enyah dari hadapanku sekarang, maka akan ku tebas lehermu dan kupisahkan anggota tubuhmu”.

Maka Maulana Ishaq pun pergi dari kerajaan dan berlari menuju kamar di istananya menemui isterinya secara diam-diam yang saat itu sedang hamil tujuh bulan. Ia menemui isterinya dan berpamitan untuk pergi dari negeri Blambangan, sebab jika tidak segera melakukanya pasti ia akan ditangkap dan dibunuh oleh sang ayah. Mendengar hal tersebut, pecahlah tangisan Dewi Sekardadu yang harus berpisah dari suami tercintanya tadi. Pada gelapnya sang malam kala itu Maulana Ishaq meninggalkan kerajaan Blambangan tanpa ditemani siapapun kecuali hanya suara binatang galak dan bintang gemintang. Dalam perjalanan itu beliau berdo’a memohon petunjuk kepada Allah SWT seraya meminta bantuan-Nya. Maka Allah SWT menurunkan bala’ kepada penduduk kerajaan blambangan dengan suatu penyakit pageblug yang amat ganas. Banyak rakyat dan punggawa kerajaan yang secara mendadak mati dalam jumlah yang amat banyak dan tak ada satupun mampu menolak balak tersebut. Maka amat bersedihlah hati sang raja hingga membuat ia tak enak makan dan tak nyenyak dalam tidur. Sang raja berkata bahwa penyakit yang ganas itu adalah ulah dari pemuda yang tak lain adalah menantunya Maulana Ishaq dan juga janin yang sedang dikandung oleh puterinya sendiri Desi Sekardadu. Maka sang raja bernadzar bila sang anak nanti lahir maka akan dibuang ke dalam lautan.

Maka setelah usia kehamilan makin dekat pada kelahiranya dan ternyata kala itu lahir seorang anak laki-laki yang amat berharga bak intan permata, Raja Minak Sembayu melakukan nadzar-nya yakni membuang cucunya tersebut ke lautan lepas dengan di letakan pada sebuah kotak. Sang anak dalam kotak tadi pun terbawa derasnya arus air di tengah lautan, terombang-ambing oleh buih dan ombak, namun tetap dalam perlindungan Allah SWT dan hal demikian lah yang menjadi karomah dari para Wali Allah SWT.

Suatu ketika kotak ini sampailah pada sebuah kapal milik pedagang kaya di kita Gresik. Maka ketika melihat kotak yang terombang-ambing di tengah lautan, diambilah kotak tersebut dan dibuka olehnya yang ternyata berisi seorang anak yang cahayanya tembus ke luar kotak dan wajahnya bersinar bak purnama. Maka dibawalah anak ini oleh sang pedagang gresik yang hendak pergi ke Pulau Bali ini hingga selamat sampai di Pulau Bali. Setelah selesai dengan urusanya di Pulau bali, maka pedagang ini kembai ke daerahnya bersama dengan anak tersebut hingga singgah ke desa Tandes dan akhirnya sampai ke Gresik. Para pedagang tadi yang tengah sampai di Gresik, kemudian menyerahkan sang bayi kepada wanita bernama Nyai Gedhe, yakni puteri dari Sayyid Raja Pandhita yang telah disebutkan keteranganya diatas.

Sang nyai bertanya kepada para pedagang gresik tadi tentang siapa sebenarnya bayi yang ia bawa itu dan setelah dijawab bahwa ia adalah bayi yang ditemukan di dekat Negeri Minak, Blambangan maka amat gembiralah perasaan Nyai Gehde yang memang telah lama menikah namun tidak punya keturunan. Oleh sang Nyai Gedhe ini, bayi tersebut diberi nama Raden Paku dan didiklah ia hingga dewasa. Semenjak ditemukanya, Raden Paku tidak diberikan air susu dari wanita manapun melainkan hanya mengempeng jari Nyai Gedhe hingga tujuh hari lamanya. Setelah itu barulah ia diberikan susu dari sapi yang diperah, hingga iapun besar dalam pengasuhan Nyai Gedhe ini.


Pertemuan 8 : Sayyid Abdul Qodir, Sayyidah Saroh dan ketiga Murid dari Yaman berguru ke Ampeldenta

Setelah menyembunyi dalam gelapnya hutan diantara bukit-bukit pegunungan dan lembah maka Beliau akhirnya memutuskan untuk kembali ke Negeri Pasai di pulau Sumatera untuk berkumpul dengan isteri dan kedua anaknya. Beliau memberi tahu kepada kedua anaknya bahwa di Pulau jawa mereka berdua telah memiliki saudara dari anak-anak pamanya yang bermuqim di daerah bernama ampel yang masuk dalam wilayah kota Surabaya bernama Sayyid Rahmat. Kakak keponakan mereka inilah yang menjadi pemeluk Islam pertama di pulau jawa yang saat itu telah menjadi imam bagi orang-orang Islam disana serta menjadi wali/kekasih Allah serta menjadi orang sholeh yang mengajarkan ilmu syareat, ilmu thoriqoh dan ilmu haqiqat kepada penduduk setempat. Tidak berselang lama setelah di negeri Pasai (sekitar tujuh hari), Maulana Ishaq wafat. Jenazah beliau didatangi oleh para ulama dan auliya untuk disholati dan Beliau diquburkan disana tepatnya di daerah bernama Taman Sari. Para ulama’ dan auliya’ tadi membaca sholawat, tashbih, tahmid, tahlil, bacaan Al-Quran dan menghadiahkan pahala dari amal-amal tersebut untuk ruh Maulana Ishaq. Semoga Allah SWt menyiramkan rahmat-Nya kepada Beliau serta mencurahkan meridloi-Nya.

Adapun kedua putera/puteri Maulana Ishaq yakni sayyid Abdul Qodir dan Sayyidah Saroh, setelah wafatnya Sang Ayah mereka bermusyawarah dan menghasilkan kesepakatan untuk berkelana. Maka mereka berdua menuju ke Negeri bernama ‘Adan di jazirah Arab dan muqim disana beberapa hari, kemudian mereka menaikai kapal menuju ke daerah Keling selama sebelas hari lamanya dan mereka bermuqim di Keling selama sebulan lamanya. Setelah itu mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju Pulau jawa hingga kapal yang mereka tumpangi sampai di suatu negeri bernama Juwana yang kala itu masuk dalam wilayah kekuasaan negeri Minak. Setelah itu mereka berjalan dari juwana menuju ke Negeri Surabaya berjalan terus hingga sampailah ke daerah Ampeldenta. Disana mereka berdua menanyakan kediaman Sayyid Rahmat pada warga sekitar hingga bertemulah kedua pengelana bernama Sayyid Abdul Qodir dan Sayyidah Saroh ini dengan kakak keponakanya Sayyid Rahmat. Setelah bertemu dan memperkenalkan diri serta memberitahukan kabar tentang ayahnya Maulana Ishaq yang telah wafat, serta memberitahukan maksud kedatanganya di Ampeldenta maka mereka berpelukan dan saling menangis haru karena atas izin Allah SWT telah dipertemukan kedua saudara ini.

Adapun Arya Baribin yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa beliau memiliki dua anak bernama Maduretno yang diperisteri oleh Sayyid Raja Pandhita dan Jaka Qondar (suami dari nawangsasi binti Ki Ageng Tarub). Adapun Jaka Qondar ini telah masuk Islam dan menempuh thoriqoh zuhud serta menyepi di atas gunung untuk beribadah dan riyadhoh pada sebuah desa bernama Melaya. Beliau riyadhoh hingga menjadi seorang wali Allah dan terkenal dengan sebutan Sunan Melaya. Beliau memiliki dua orang anak bernama Dewi Asiyah yang menjadi isteri Sayyid Abdul Qodir bin Maulana Ishaq dan bersama Sayyid Abdul Qodir ini Dewi Asiyah bermuqim di sebuah desa bernama Gunung Jati, Cirebon, menjadi pemimpin umat, menempuh thoriqoh zuhud, berkholwat dan riyadhoh, sedikit makan, sedikit tidur, sibuk beribadah baik yang fardlu maupun yang sunnah hingga menjadi waliyulloh dengan gelas Sunan Gunung Jati. Atas jasa beliau, banyak orang masuk Islam. Adapun sayyid Abdul Qodir/Sunan Gunungjati ini memiliki dua keturunan bernama Sayyid Abdul Jalil dan Sufiyah.


Ketika itu, datang ke Pulau jawa tiga orang pemuda dari Negeri Yaman, arab yang termasuk dzurriyah Rasulillah SAW bernama : Sayyid Muhsin, Sayyid Ahmad dan Sayyid Husein. Mereka bertiga datang ke Daerah Ampel untuk berguru ilmu syare’at, ilmu thoriqoh dan ilmu haqiqot kepada Sayyid Raden Rahmat. Oleh Raden Rahmat, beliau berpesan agar ketiga calon santri ini bersungguh-sungguh sebab ilmu yang mereka cari adalah ilmu Allah yang jika tidak diamalkan maka berakibat berat bagi masa depan mereka sendiri. Maka melalui lisan sayyid Muhsin mereka berharap mendapat limpahan fadhol/keutamaan dari Allah SWT serta meminta doa dari Sunan Ampel, serta doa dari para pendahulnya agar semoga dapat menjalankan ilmu yang kelak diperoleh dengan tulus ikhlas. Maka mereka bertiga diterima menjadi santri dari Sunan Ampel, berkhidmah dengan penuh ketaatan dan menjalankan isyaroh dari guru mereka hingga mereka bertiga pun menjadi para kekasih Allah.


Pertemuan 9 : Keturunan Para Wali 1

Adapun para wali yang telah dijelaskan sebelumnya memiliki keturunan sebagai berikut

a.       Raden Rahmat (Sunan Ampel)

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Sayyid Rahmat memiliki tujuh orang putera/I yakni :

1.       Sayyidah Syarifah yang diperisteri oleh Sayyid Haji Usman bin Sayyid Raja Pandhita dan menetap di sebuah desa bernama Mayuran terkenal dengan sebutan Sunan Mayuran. Dari pernikahan ini lahirlah seorang anak bernama Amir Husein.

2.       Sayyidah Mutma’inah, diperisteri oleh Sayyid Muhsin dan bermuqim di daerah Wilis beribadah, riyadhoh, dan menempuh jalan para wali, sehingga beliau Sayyid Muhsin terkenal dengan sebutan Sunan Wilis. Pernikahan mereka membuahkan seorang anak bernama Amir Hamzah.

3.       Sayyidah Hafshoh yang terkenal pula dengan gelarnya Nyai Ageng Meloko diperisteri oleh sayyid Ahmad dan tinggal di daerah dekat gunung bernama Kemloko. Disana beliau uzlah untuk menundukan hawa nafsu, menyendiri untuk beribadah, sedikit makan, sedikit tidur, dan melakukan hal demikian selama 30 tahun lamanya hingga ia diangkat menjadi Waliyulloh bergelar Sunan Kemloko. Beliau tidak memiliki keturunan dari pernikahan ini.

4.       Sayyid Ibrahim menikah dengan Dewi Irah binti Joko Qondar/Sunan Melaya. Dari Pernikahan ini mereka mendapat dua keturunan bernama Dewi Rohiil. Sayyid Ibrahim menjadi panutan warga di daerah Lasem  dan Tuban dan menetap di daerah bernama Bonang, menyendiri beribadah diatas sebuah gunung dari pegunungan Kendeng yang berada di pinggir pantai, riyadhoh dengan sedikit makan, dan menghindari lezatnya tidur, memerangi hawa nafsunya, menjalankan syareat agama dengan ibadah dan ketaatan kepada Allah SWT dan memerangi syaitan. Beliau melakukan ‘uzlah dari hingar bingar manusia

Beliau melakukan hal tersebut dengan istiqomah sehingga menjadi wali besar di zamanya bergelar Sunan Bonang. Adapun yang termasuk karomahnya yang bisa disaksikan hingga saat ini adalah bekas dari wajah, hidung, lutut serta jari kakinya yang berada diatas batu yang masih bisa dilihat hingga saat ini yang terkenal dengan sebutan Batu Pasujudan berada diatas gunung tersebut. Didekat batu tersebut terdapat makam seorang wanita yang merupakan puteri Raja Cina yang kadang dikenal dengan sebutan Puteri Cempa. Dikatakan bahwa Puteri ini telah masuk Islam dan ketika menyaksikan sayyid Ibrahim yang sedang sholat diatas batu maka timbul rasa rindu dan tetesan cinta dalam hati sang puteri. Maka Puteri tersebut berdiam diri disana menunggu Sayyid Ibrahim selesai dalam sholatnya, namun sayyid Ibrahim tak kunjung selesai, hingga sang puteri meninggal dan diquburkan di dekat batu pasujudan tersebut. Kemudian diatas nisan sang puteri didirikan qubah yang salah satu tiangnya terbuat dari tulang ikan laut.

Termasuk karomah Beliau yang bisa disaksikan hingga saat ini adalah terdapat dua buah batu  berbentuk seperti babi yang sedang menaiki babi lainya. Hal ini terjadi ketika Sunan Bonang sedang berjalan bersama beberapa muridnya secara tiba-tiba ada dua babi yang sedang menghadang jalan mereka dengan melakukan hal senonoh. Maka salah satu murid beliau Beliau memberitahukan kepada Sang Guru yang dikiranya tidak melihat kedua babi ini dengan berkata bahwa di depan mereka sedang ada dua babi. Maka Sunan Bonang berkata : bukan babi tapi batu, maka seketika itu babi tadi berubah menjadi batu yang oleh warga setempat disebut dengan “watu celeng

5.       Adapun Sayyid Qosim akan dijelaskan pada pertemuan berikutnya.

b.      Raden Raja Pandhita (Sayyid Ali Murtadlo)

1.       Sayyid Usman Haji bin Sayyid Raja Pandhita. Beliau menikah dengan wanita bernama Dewi Sari binti Raden Syakur ( Tumenggung Wilatikta ) Bin Arya Tejo. Beliau menjadi pemimpin bagi penduduk Jipang Panolan dan bermuqim di wilayah bernama Ngudung. Beliau menempuh jalur para auliya’, meninggalkan jalur duniawi dan melakukan riyadhoh, berkonsentrasi dalam ibadah sehingga menjadi kekasih Allah bergelar Sunan Ngudung. Beliau memiliki dua orang anak bernama Dewi Sujinah dan Raden Amir Haji (Sunan Kudus)

2.       Nyai Gedhe Tundho binti Sayyid Raja Pandhita menikah dengan Sayyid Kholifah Husein yang menjadi pemimpin penduduk Madura dan bermuqim di daerah bernama Kertayasa. Beliau melakukan takholli dalam ibadah mencari ridlo Allah SWt dalam bermujahadah sehingga menjadi waliyulloh bergelar Sunan Kertayasa. Dari pernikahan ini lahirlah seorang bernama Kholifah Sughro, dan atas jasa beliau banyak penduduk Madura yang masuk Islam.



c.       Raden Syakur (Tumenggung Wilatikta) memiliki seorang anak laki-laki bernama Raden Syahid yang menikah dengan Siti Saroh binti Maulana Ishaq. Siti saroh ini adalah saudari kandung Sayyid Abdul Qodir/Sunan Gunung Jati. Raden Syahid ini menjadi pemimpin bagi penduduk Dermayu dan Manulan dan muqim pada sebuah desa bernama Kalijaga. Beliau menyepi disana dalam khusyu’nya ibadah, ‘uzlah dalam mujahadahnya serta menetapi jalan Riyadhoh sehingga diangkat menjadi waliyulloh bergelas Sunan Kalijaga. Banyak manusia masuk Islam atas jasanya. Dari pernikahan ini lahirlah tiga orang putera bernama Raden Sa’id (Sunan Muria), Sayyidah Ruqiyyah, dan Sayyidah Rofi’ah.


Pertemuan 10 : Raden Paku, Raden Fattah dan Raden Husein berguru ke Ampel

Diantara para santri Sunan Ampel berikutnya adalah : Sayyid Abdul Jalil bin Sayyid Abdul Qodir (Syekh Siti Jenar), Sayyid Amir Husein bin Haji Usman bin Sayyid Raja Pandhita, Sayyid Amir Haji bin Sayyid Usman Haji (Sunan Kudus), Raden Sa’id bin Raden Syahid (Sunan Muria), dan Raden Amir Hamzah bin Sayyid Muhsin. Mereka bersama-sama menuju Ampeldenta untuk berkhidmah kepada Sayyid Rahmat dan mencari ilmu dari Beliau. Adapun Sayyid Qosim bin Sayyid Rahmat (Sunan Derajat) adalah pemimpin di saat mereka bersama-sama belajar di Pesantren Ampeldenta.

Dan telah dijelasnkan sebelumnya bahwa Maulana Ishaq memiliki seorang putera yang oleh Raja Blambangan anak tersebut dibuang ke lautan dan pada akhirnya ditemukan oleh para pedagang dan diserahkan kepada Nyai Gedhe Tundho Pinatih. Oleh Nyai gedhe ini, sang anak diberi nama Raden Paku. Ketika usia sang anak telah mencapai lima belas tahun, timbul keinginan dari Raden Paku untuk memperdalam ilmu agama. Ketika beliau mendengar di desa Ampel Denta terdapat seorang ulama’ besar yang terkenal, maka Raden Paku meminta ijin kepada ibu angkatnya tersebut untuk menimba ilmu pengetahuan serta mengantarkan beliau sowan ke Ampeldenta. Sang ibu pun mengijinkan dan mengantarkan beliau menemuai Sayyid Rahmat yang terkenal sebagai Sunan Maqdum tersebut. Sesampai di ampel denta, nyai gedhe tundho menemui Sayyid Rahmat di ndalem beliau dan memasrahkan anak angkatnya agar dididik ilmu agama oleh Sunan Ampel. Maka Raden Paku yang kala itu masih berada di depan ndalem dibawah pohon “Tanbul” pun dipanggil menghadap. Setelah masuk ke ndalem Sunan Ampel terkaget melihat seorang anak yang memiliki wajah yang tak asing baginya. Beliau jadi teringat dengan pamanya bernama Maulana Ishaq. Untuk memastikan itu akhirnya beliau bertanya kepada Nyai Gedhe Tundho tentang siapa sebenarnya Raden Paku tersebut. Maka Nyai Gedhe Tundho menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada Raden Paku semasa bayi-nya dan akhirnya Sayyid Rahmat mengetahui bahwa yang dihadapan beliau saat itu tidak lain adalah keponakanya sendiri. Maka Beliau mendidik raden paku dengan amat serius, mengajari ilmu adab, syare’at, serta thoriqot naqsyabandiyah kepada keponakanya tersebut.

Telah dijelaskan pula sebelumnya bahwa Raja Brawijaya memiliki seorang anak dari isterinya puteri cina yang bernama Raden Fattah dan Raden Fattah ini memiliki seorang adik seibu bernama Raden Husein. Maka mereka berdua setelah beranjak dewasa bermusyawarah dan bersepakat untuk pergi ke Ampel denta berkhidmah kepada Sayyid Rahmat untuk belajar ilmu dari beliau. Maka mereka meminta ijin kepada Prabu Arya Damar. Setelah mendapat ijin dari ayahnya, mereka pun akhirnya mengembara menuju ke Ampel Denta hingga sampailah mereka pada Raden Rahmat. Setelah berdialog beberapa lama pada akhirnya mereka berdua diterima menjadi santri Ampel Denta. Adapun Raden Fattah yang cerdas dan cepat paham itu dapat menerima setiap pelajaran yang disampaikan oleh gurunya sehingga ia menjadi pemuda yang alim terhadap ilmu syare’at, ilmu thoriqoh, ilmu haqiqot serta mengamalkan ibadah-ibadah baik yang fardlu maupun yang sunnah dan menjauhi perkara-perkara haram maupun perkara makruh. Sedangkan Raden Husein yang agak bodoh memiliki pemikiran berbeda dari kakaknya. Menurutnya, apa yang dipelajari oleh Raden Fattah tidaklah memberi manfaat dalam martabat maupun kekuasaan seolah-olah mencerminkan bahwa kakaknya itu bukan anak dari raja. Raden husein menyimpan pemikiranya ini hingga suatu saat ia mengungkapkanya kepada kakaknya bahwa ilmu agama yang diperoleh sudahlah cukup. Ia mengajak kakaknya Raden Fattah untuk menuju ke negeri Majapahit berkhidmah agar memperoleh daerah kekuasaan dan mendapat derajat yang tinggi dalam strata social. Namun sang kakak yakni Raden Fattah menolak ajakan raden husein dan mempersilakan adiknya itu jika hendak mencari kekuasaan pada kerajaan Majapahit.

Maka raden husein pergi meninggalkan kakaknya di Ampel Denta menuju kerajaan Majapahit. Hingga akhirnya setelah sampai di hadapan Sang raja ia merendahkan dirinya mencium tanah di depan sang Raja serta menyampaikan tujuan kedatanganya ke majapahit untuk mengabdikan diri disana. Ketika melihat wajah raden husein, Raja Brawijaya terkaget dan seketika itu ia mengingat anaknya Arya Damar yang mirip dengan pemuda di hadapanya itu. Maka raden husein pun memberitahukan siapa jati dirinya kepada sang raja dan oleh Prabu Brawijaya setelah lama pengabdian raden Husein pada akhirnya diangkat menjadi menteri dan diberi kekuasaan pada daerah bernama Terung dengan gelar Adipati Pecat Tundo.


Pertemuan 11 : Menantu Sunan Ampel dan Perjalanan menuju Gelagah Wangi

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pernikahan sayyid Rahmat dengan Nyimas Karimah binti Ki Bang Kuning memiliki dua orang anak perempuanya bernama : Dewi Murtiah dan Dewi Murtasimah.

  1. Adapun Dewi Murtiah dinikahkan dengan Raden Paku dan mereka berdua bermuqim di daerah bernama tandes diatas sebuah gunung bernama Giri. Ia menyendiri dalam konsentrasi ibadah, riyadhoh, serta mujahadah hingga menjadi seorang waliyulloh bergelar Sunan Giri.  Atas jasanya banyak orang masuk islam dan pernikahan mereka melahirkan empat orang keturunan bernama Raden Prabu, Raden Masani, Raden Guwa dan seorang anak perempuan bernama Dewi Retnowati.
  2. Sedangkan Dewi Murtasimah dinikahkan dengan Raden Fattah. Setelah lama pengabdian Raden Fattah, Sunan Ampel memerintahkan agar beliau berhijrah menuju arah barat hingga sampai di sebuah desa yang banyak tanaman gelagahnya bernama Bintoro. Beliau berpesan agar Raden Fattah mencari gelagah yang bau-nya wangi disana serta mendirikan sebuah rumah dan pedesaan jika telah menemukan gelagah yang dimaksudkan. Maka Raden Fattah akhirnya pamit undur diri bersama isterinya menuju ke desa Bintoro. Disana Beliau mencari satu per satu tanaman gelah dengan cara menyentuhnya (dalam bahasa jawa : Ndemak-ndemek) untuk membuat suatu perkampungan dan mendirikan rumah. Maka daerah itu dikenal dengan sebutan Demak dari kata demak-demek. Setelah ketemu gelagah wangi tersebut maka beliau membangun rumah dan pedesaan disana, bermuqim dan beribadah, melakukan berbagai macam riyadloh, dan mujahadah, menjalankan syare’at serta menempuh thoriqoh ahli haqiqat, hingga ia menjadi salah satu auliya’illah bergelar Sunan Demak.

Ketika raja Brawijaya mendengar bahwa di Bintoro telah terbentuk Negara baru atas jasa seorang pemuda yang tidak ia kenal, maka ia kuatir terjadi Bughot/pemberontakan. Akhirnya Raja Brawijaya mengutus Raden Husein untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dan memrintahkan ia menuju ke Bintoro. Ternyata setelah raden husein mengetahui bahwa pemimpin di Bintoro adalah kakaknya sendiri yakni Raden Fatah, ia amat kaget. Mereka berdua pada akhirnya bertemu, bersalaman, dan saling berangkulan, hingga menetes air mata keduanya saking senang atas perjumpaan setelah lama berpisah. Maka setelah terjadi perbincangan agak lama antar keduanya, raden husein pun pamit undur diri untuk kembali ke negeri Majapahit. Sekembali ke Majapahit dan melaporkan situasi kepada Prabu Brawijaya, akhirnya sang Raja merasa amat senang sebab mengetahui bahwa penguasa Bintoro tidak lain adalah puteranya sendiri. Sang raja kemudian mengutus seorang prajurit untuk menuju ke Demak Bintoro dan mengumumkan kepada rakyat Bintoro bahwa Raden Fattah diangkat sebagai penguasa di wilayah Demak oleh Prabu Brawijaya ayahnya.

Maka setelah itu Sayyid Ibrahim (Sunan Bonang) mengusulkan agar Raden Fattah hendaknya segera mendirikan masjid sebagai tempat untuk sholat jama’ah dan sholat jum’at. Oleh Raden Fattah, diperintahkanlah agar segera dikumpulkan kayu untuk persiapan pendirian masjid tersebut.

Kala itu, Sayyid Ibrahim (Sunan Bonang) memiliki seorang murid di desa Ngepon, Jatiroho, bernama Nyai Sibeluk. Nyai Sibeluk ini memiliki seorang suami yang juga sebagai mu’adzin di Bonang, Tuban. Oleh Sayyid Ibrahim (Sunan Bonang), suami dari Nyai Sibeluk ini diperintah untuk mengumpulkan daun dari rumput alang-alang yang kelak akan digunakan sebagai atap rumah bagi para tukang kayu yang akan membangun masjid Demak. Maka dikumpulkanlah olehnya banyak sekali alang-alang tadi, namun hingga lama sekali alang-alang tersebut tak kunjung diambil oleh Sunan Bonang hingga banyak dari daun rumput yang telah mengering. Maka sang pencari rumput alang-alang itupun mencurhatkan keadaan itu pada isterinya dan oleh sang isteri beliau dihibur agar bersabar. Mungkin sang guru telah terlupa atas perintahnya atau mungkin memang alang-alang tadi sudah tidak dibutuhkan oleh sang guru. Maka segera Nyai Sibeluk keluar dari rumahnya dan menyabetkan selendangnya pada tumpukan alang-alang yang telah dikumpulkan oleh suaminya. Seketika itu daun alang-alang tadi berterbangan hingga hilang oleh pandangan mata yang keseluruhanya terbang menuju ke Demak Bintoro.


Pertemuan 12 : Proses mendirikan masjid Agung Demak Bintoro Wahdatul Wujud Syekh Siti Jenar

Disebutkan bahwa proses pendirian delapan buah soko/tiang masjid itu diserahkan kepada delapan orang tukang kayu dan diperintahkan agar diselesaikan segera pada malam itu, sebab masjidnya akan digunakan esok hari untuk sholat. Maka seluruh tukang kayu tadi bersungguh-sungguh dalam mengerjakan pekerjaan mereka di malam itu, kecuali salah seorang dari merika. Satu orang tadi justeru tertidur dengan pulasnya. Maka ketika fajar mulai dekat, para tukang kayu lain membangunkanya dan keseluruhan tukang telah memiliki kayu masing-masing. Maka seorang yang tertidur semalaman tadi pun mengumpulkan tatal/sisa kayu yang tak terpakai serta menali-nya menjadi satu dengan seutas tali dan menjadikanya tiang, sehingga salam satu dari ke delapan tiang tadi terbuat dari tatal kayu yang hingga saat ini masih bisa kita saksikan. Namun tatal tadi telah dibungkus dengan besi.

Raden fatah memiliki lima orang anak yakni : Pangeran Prabu, Raden Trenggono, Raden Bagus Sedo Lepen, Raden Kenduruan, dan Dewi Ratiyah.

Adapun Sayyid Qosim bin Sayyid Rahmad menikah dengan Dewi Sufiyah binti Sayyid ‘Abdul Qodir yang terkenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati sebagaimana keterangan sebelumnya. Beliau menjadi pemimpin bagi warga lamongan dan Sedayu, dan bermuqim di sebuah desa bernama Derajat. Beliau ‘uzlah disana, bersungguh-sungguh dalam ibadahnya, melakukan riyadhoh dan mujahadah sehingga menjadi waliyulloh dengan gelar Sunan Derajat. Atas jasanya banyak orang masuk islam dan beliau dikarunia tiga orang anak bernama : Pangeran Rekyo, Pangeran Sendi dan Dewi Wurban.

Sedangkan Amir Husein bin Haji Usman bin Raja Pandhita menikah dengan puteri Raden Syahid (Sunan Kalijaga) yang bernama Dewi Ruqoyyah binti Raden Syahid. Adapun Amir Hamzah bin Sayyid Muhsin (putera dari pernikahan sayyid muhsin dengan sayyidah Mutmainah binti Sayyid Rahmat) juga menikahi puteri Raden Syahid yang bernama Dewi Rofi’ah binti Raden Syahid. Raden Sa’id bin Raden Syahid, menikah dengan Dewi Sujinah binti Sayyid ‘Usman Haji bin Raja Pandhita dan menetap di desa bernama Muria, ber’uzlah disana, konsentrasi dalam ibadah, melakukan riyadhoh dan mujahadah sehingga menjadi seorang wali bergelar Sunan Muria. Belia memiliki seorang putera bernama Pangeran Sendi yang bermuqim di Kadilangu dan terkenal dengan gelarnya Pangeran Kadilangu.

Adapun Sayyid Amir Haji bin ‘Usman Haji menikah dengan Dewi Rohiil binti sayyid Ibrahim (Sunan Bonang) dan tinggal di sebuah daerah bernama qudus, menempuh jalan para wali, melakukan riyadhoh, dan mujahadah sehingga menjadi seorang waliyulloh bergelar Sunan Kudus.

Sedangkan Sayyid Abdul Jalil bin Sayyid Abdil Qodir tidak menikah. Ia belajar banyak ilmu dari Sayyid Rahmat sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dan tujuan utama dari keinginanya adalah belajar ilmu tasawuf. Maka sebab larut dalam ilmu tauhid dan ma’rifat hingga ia naik menuju maqom mukasyafah dan hanyut dalam ke-Esa-an, dan semua selain Allah adalah fana. Maka kala itu ia meminta izin dari gurunya Sayyid Rahmat untuk boyong dari pesantren Ampel. Setelah diijinkan, ia pun meninggalkan ampel denta berjalan menuju daerah/desa yang bernama Siti Jenar. Disana ia ber’uzlah, menyendiri, sibuk berdzikir, bertafakur, mencari ridlo dari Allah. Ia tidak tidur siang dan malam, tak pernah merasakan manisnya makanan minuman kecuali hanya sedikit sekali, selalu belajar ilmu tersebut siang dan malam hingga batinya tidak muat dan hatinya tak mampu untuk membendung sifat wahdah tersebut. Maka apa yang samar dalam hatinya muncul pada badan dzahir-nya, dan hal itulah yang menjadikan halal-nya darah beliau dialirkan. Adapun yang berfatwa agar beliau dihukum mati dalam dzahirnya adalah Sayyid Ibrahim (Sunan Bonang) dan ilmu haqiqah dalam batin-nya diserahkan kepada Allah SWT.

Siapa yang memahami isyaroh, hendaklah menjaganya # Jika tidak maka akan dibunuh dengan pedang

Seperti hallaj yang ketika cintanya terlihat                            # olehnya mentari hakekat dengan pengakuanya

Aku akulah al-haq yang tiada                                                      # tiada pernah hilang dzat-Nya hingga kapanpun

Hal tersebut terjadi ketika Raden Fattah hendak memanggil beliau agar berkenan ikut perang melawan Raja Majapahit yakni Prabu Brawijaya. Kala itu ‘Abdul Jalil berkata : Disini tidak ada Abdul Jalil, yang ada disini adalah Allah. Wallohu a’lam


Pertemuan 13 : Wafatnya Sunan Ampel, Pengangkatan Raja Demak serta Penyerbuan ke Majapahit

Kemudian sayyid Rahmat (Sunan Ampel) wafat dan disholati oleh para auliya. Yang menjadi imam kala itu adalah menantunya yakni Sayyid Raden Paku (Sunan Giri) dan beliau diquburkan di sebelah timur laut dari rumahnya yang masyhur diziarahi hingga sekarang di ampel Surabaya. Semoga Allah SWT senantiasa menurunkan hujan rahmat kepada beliau. Aamiin.

Setelah wafatnya beliau, para wali di jawa berkumpul, mereka terdiri dari : Sayyid Ibrahim (Sunan Bonang), Sayyid Raden Paku (Sunan Giri), Raden Syahid (Sunan Kalijaga), Sayyid Qosim (Sunan Derajat), Sayyid Abdul Qodir (Sunan Gunungjati), Sayyid Raden Sa’id (Sunan Muria), Sayyid Amir Haji (Sunan Kudus), Sayyid Muhsin (Sunan Wilis), Sayyid Haji Usman (Sunan Mayuran), Raden Fattah (Sunan Demak), Sayyid Usman Haji (Sunan Ngudung), Raden Jaka Qondar (Sunan Melaya) dan Sayyid Kholifah Sughro bin Kholifah Husein. Mereka bermusyawarah tentang siapa yang akan menggantikan Sunan Ampel menjadi pemimpin Umat Islam. Maka Raden Paku berkata kepada seluruh musyawwirin bahwa tidak ada yang lebih patut menjadi pemimpin umat kala itu kecuali Raden Fatah. Maka seluruh musyawwirin sepakat membaiat Raden Fata dan menjadikan beliau sebagai pemimpin dan pada akhirnya Raden Fattah pulang ke demak serta mendirikan kerajaan Demak.

Kemudian setelah itu, Raden Fattah mengumpulkan para auliya dan tokoh terkemuka kaum muslimin di kerajaanya serta memberikan pendapatnya bahwa menurut beliau, sebab Islam kala itu dirasa telah kuat dan telah banyak pengikutnya, maka menjadikan fardlu dalam Islam untuk melakukan jihad melawan Raja Brawijaya dan kawan-kawanya serta kaumnya yang kufur. Maka beliau menitahkan agar kaum muslimin di seluruh penjuru untuk bersiap-siap melakukan jihad dengan pedang dan peralatan perang lainya. Maka dari seluruh yang hadir tidak ada yang menolak pendapat tersebut, dan keseluruhan menaati titah sang Raja Demak. Kemudian mereka bermusyawarah tentang siapa yang akan dijadikan sebagai pemimpin pasukan dan panglima perang, maka Raden Paku mengusulkan agar Sayyid Usman Haji (Sunan Ngudung) adalah yang paling tepat. Beliau hendaknya didampingi oleh Raden Amir Husein (Putera dari Sunan Mayuran) dan Raden Amir Hamzah bin Sayyid Muhsin (Putera dari Sunan Wilis). Maka mereka mengumpulkan tentara dan mengatur strategi serta peralatan perang beserta seluruh perlengkapan yang dibutuhkan dan keseluruhan berkumpul di kerajaan Demak.

Kala itu di Maja Pahit terdapat seorang bernama Arya Tanduran (Putera dari Arya Bangah) yang memiliki tiga orang anak bernama Gajah Mada, Gajah Wila dan Gajah Sina. Ketika putera tersebut menjadi menteri dari Raja Brawijaya. Adapun Gajah Mada diserahi urusan diplomasi, Gajah Wila diserahi urusan pajak dan Gajah Sina menjadi pemimpin pasukan dan urusan peperangan.

Dan telah disebutkan sebelumnya bahwa Brawijaya memiliki seorang anak bernama Raden Gugur yang menjadi wakil bagi Brawijaya. Raden Gugur ini memiliki dua anak bernama Lembu Nasroya dan Lembu Kanigara. Keduanya dijadikan sebagai menteri di Majapahit.

Kemudian juga telah dijelaskan bahwa raja Brawijaya menjadikan Raden Husein bin Arya Damar sebagai Adipati Terung dan memberi gelar untuknya adipati Pecat Tundo.

Dan isteri Brawijaya yang berada di Ponorogo memiliki seorang saudara bernama Dandang Wecana yang oleh Brawijaya dijadikan sebagai menteri di Majapahit. Dandang Wecana ini memiliki anak bernama Raden Banjar yang bermuqim di daerah bernama tingkir serta dijuluki dengan Dandang Wurahan.

Di Madura, isteri dari Brawijaya juga memiliki seorang saudara bernama Ulung Kembang.

Maka ketika Sayyid Usman Haji (Sunan Ngudung) bersama para prajurit dan pasukan perang hendak berangkat ke medan perang, mereka memakai gamis yang dipintal dan diberi nama Onto Kusumo dan mereka berpamitan dengan Raden Fattah. Beliau meninggalkan demak menaiki kuda yang indah di depan pasukan dan tentara membawa bendera berwarna kuning yang dikibarkan di depan dan di belakang tentara diiringi suara bedug yang tabuh serta gendering perang. Raden Amir Husein berada disebelah kanan Sunan Ngudung dan Raden Amir Hamzah di sebelah kirinya menaiki kuda yang berlapis besi yang tiada terlihat pada diri mereka sekalipun rasa takut.

Kamilah bintang yang bersinar   # Kamilah rembulan yang terang benserang

Setiap dari kami menginginkan  # Menempuh jalan dari beberapa jalan petunjuk

Kami ajak seluruh hamba             # menuju petunjuk dan tali yang kuat

Kamilah burung yang terbang     # bagi setiap orang yang membangkang

=====

Maka mereka terus berjalan hingga sampailah mereka ke sebuah daerah bernama Tunggarana, dan mereka istirahat disana berhenti untuk mendirikan tenda perkemahan


Pertemuan 14 : Surat untuk Maja Pahit dan Perang di Tunggarana

Kemudian sayyid Usman Haji menulis sebuah surat kepada Raja majapahit, dan kala itu lewatlah seorang pemuda penduduk desa Cakar Ayam, majapahit yang memiliki pekerjaan pembuat bedug sehingga pemuda tadi diberhentikan dan dititipkan kepadanya surat untuk raja majapahit tadi. Dengan senang hati, pemuda tadi membawa surat yang diperuntukan kepada sang raja dan olehnya surat tersebut dihaturkan secara langsung ketika Raja Brawijaya sedang bersama dengan para petinggi kerajaan. Ternyata surat tersebut berisi peringatan dari Sayyid Usman Haji (Sunan Ngudung) kepada Raja Brawijaya Raja Majapahit atas nama Raja Demak Reden Fattah. Beliau Sayyid Usman Haji memberitahukan telah sampai ke desa tunggarana bersama para tentara perang hendak mengajak seluruh penduduk Majapahit memeluk agama Islam dan atau memilih untuk melakukan peperangan.

Setelah selesai membaca isi surat tersebut, raja Brawijaya berkata kepada menterinya Gajah Sina tentang kedatangan tentara demak untuk memerangi majapahit dan ia memerintahkan Gajah Sina bersama Arya Jambul Putera dari Ki Jaran Panulih untuk menemui tentara Demak bersama satu juta tentara. Maka keluarlah Gajah Sina bersama pasukanya menuju Desa Tunggarana dan disana terjadilah peperangan dahsyat yang ,memakan banyak sekali korban. Kedua pasukan amatlah hebat, hingga tidak ada yang menang dan tidak ada pula yang kalah.

Maka Gajah Sina menantang adu tanding dari kedua pihak untuk memperlihatkan kekuatan mereka. Maka keluarlah dari pihak Demak dengan mengajukan Amir Husein bin Sayyid Haji Usman (Sunan Mayuran), namun Gajah Sina mampu mengalahkanya hingga wafatlah Amir Husein karena perang menembus perutnya. Semoga Allah SWt meridloinya dan menjadikan syurga sebagai tempat akhirnya. Kemudian keluarlah Sayyid Amir Hamzah bin Sayyid Muhsin (Sunan Wilis) dan adu tanding pedang dari keduanya berlangsung amat lama hingga tak ada yang terkalahkan dari kedua pihak. Maka sayyid Usman Haji (Sunan Ngudung) bersama tiga orang pemuda menghampiri kedua pemuda ini hingga pedang milik Sayyid Usman haji menebas leher hingga dada Gajah Sina dalam sekali tebas dan matilah Gajah Sina ini, Semoga Allah menghukumnya ke neraka sebagai seburuk-buruk balasan.

Kala itu tentara Muslim tinggal tiga puluh orang pemuda, dan ditambah lagi tentara Majapahit datang berbondong-bondong menuju medan laga dengan persenjataan mereka. Maka para pemuda Islam kala itu membagi pasukan dalam tiga kelompok, satu kelompok berada di sayap kanan, satu kelompok di sayap kiri dan satu kelompok dari tengah. Maka terjadilah perang untuk kedua kalinya dan banyak sekali pasukan terluka dan mati dari kubu Majapahit. Maka Arya Jambul pun lari ketakutan, pulang ke Majapahit dan melaporkan situasi atas kematian Gajah Sina dan berkurangnya pasukan Majapahit hingga tinggal sedikit dari sejuta pasukan yang telah diutus ke Tunggarana.


Pertemuan 15 : Permintaan Bantuan Islam ke Demak dan Bantuan Majapahit ke Andaya Ningrat (Pengging) dan Betoro Katong (Ponorogo)

Adapun pasukan islam kala itu mereka kembali ke desa bernama Kerawang dengan jumlah pasukan yang tersisa tinggal sebelas orang. Sisa pasukan ini bermusyawarah dan akhirnya disepakati untuk mengutus salah satu dari mereka untuk pulang ke Demak memberikan kabar kepada raja Demak Raden Fattah tentang apa yang telah terjadi serta meminta pasukan bantuan untuk menggempur Majapahit kedua kalinya.

Sesampai di demak, utusan tersebut menyampaikan kabar kondisi Pasukan Islam sehingga Raden Fattah menitahkan agar Patih Abdissalam memimpin pasukan bantuan menuju ke desa Kerawang menemui Sayyid Usman Haji dan membantu beliau memerangi tentara Majapahit. Sebelum pasukan Islam berangkat, dipanggilah Sayyid Haji Usman (Sunan Mayuran) untuk diberikan kabar tentang wafatnya sang putera yakni Sayyid Amir Husein. Maka setelah mengetahui hal tersebut, Sayyid Haji Usman diangkat sebagai pendamping Patih Abdis salam menggantikan posisi putera beliau yang telah gugur syahid di medan perang. Maka mereka bersama pasukan tambahan lain berangkat hingga ke desa Karawang bertemu sisa pasukan dari Sayyid Usman Haji (Sunan Ngudung). Sesampai disana mereka bermusyawarah dan membicarakan bagaimana taktik perang yang akan dilaksanakan selanjutnya.

Adapun Raja Brawijaya ketika mendengar laporan dari Arya Jambul, iapun menitahkan Menterinya Gajah Mada agar mengirim utusan ke Negeri Pengging menghadap menantunya Prabu Andaya Ningrat dan ke Ponorogo meminta bantuan dari anaknya Betoro Katong untuk meminta bantuan. Maka sesampai di pengging, Prabu Andaya Ningrat bersama dengan para prajuritnya langsung mempersiapkan diri menuju Majapahit. Ketika Arya Dandang Wuruhan (Pemimpin daerah Tingkir) mendengar bahwa Prabu Andaya Ningrat sendiri yang memimpin pasukan pengging menuju Majapahit, maka ia segera mengambil busur dan panah menemui pasukan itu untuk bergabung bersama dengan ayahnya Dandang Wecana. Adapun Betoro Katong di Ponorogo, ketika menerima surat dari Majapahit maka ia segera memanggil saudaranya adipati Luwanu dan memerintahkanya agar bergabung dengan tentara membantu pasukan Majapahit. Maka Adipati Luwanu mempersiapkan senjatanya, mengendarai kuda serta menemui Betoro Katong terlebih dahulu. Setelah bertemu Raja Betoro Katong maka ia diperintahkan untuk bersama raden Saudara adiknya memimpin pasukan menuju kerajaan Majapahit.


Pertemuan 16 : Perang di Kerawang Majapahit Siasat Perang Adipati Pecat Tundo.

Ketika tentara demak sampai di Kerawang, maka prabu Andaya Ningrat mendengar akan hal itu dan ia pun menemui Raja Brawijaya dan memberitahukan posisi tentara Muslim. Maka Raja Brawijaya memerintahkan kepada pasukanya untuk menyerbu Tentara Muslimin dan memerintah Patih Gajah Mada untuk memimpin pasukan Majapahit. Adapun posisi Patih Gajah Mada menjaga perbatasan diserahkan kepada Menteri yang lain yakni Arya Bangah dan Lembu Nisroya bersama pasukanya. Sedang pemimpin utama dalam peperangan itu di pihak Majapahit diserahkan kepada putera mahkota-nya bernama Pangeran Gugur. Maka datanglah adipati Pecat Tundo (Raden Husein, adik dari Raden Fattah) penguasa negeri Terung bersama dengan Penguasa Lawung, Penguasa Teraseba, juga penguasa Sukadadi bersama dengan seribu pasukanya. Maka keluarlah para tentara yang telah berkumpul di Majapahit menuju ke Desa Kerawang untuk bertempur. Kala itu kekuatan Majapahit dibagi menjadi tiga pasukan untuk mengelabuhi pasukan Islam. Maka di daerah Kerawang inilah kedua pasukan bertemu dan pecah perang diantara meraka, hingga banyak tentara Majapahit terbunuh. Saat itu, dari kubu Kaum Muslimin telah gugur 10.010 nyawa dan tak selang beberapa lama datanglah penggempuran kedua dari pasukan Majapahit dengan perlengkapan perang lengkapnya. Maka Sayyid Amir Hamzah dan Sayyid Haji usman harus turun tangan mengurusi para tentara. Saat itu, datang kepada mereka berdua seorang pemuda Majapahit bernama Ulung Kembang yakni Penguasa dari Daerah Brangkal yang termasuk ipar dari Raja Brawijaya yang menantang adu tanding secara jantan. Oleh Sayyid Amir Hamzah yang menjawab tantangan itu, adu tanding tak berlangsung lama sebab dengan tebasan pedangnya Sayyid Amir Hamzah mampu merobek dada Ulung Kembang hingga ia mati. Semoga Allah menghukumnya ke neraka sebagai seburuk-buruk balasan.

Kemudian keluarlah seorang menteri dari Majapahit bernama Dandang Wecana menghampiri Sayyid Amir Hamzah untuk adu tanding. Tak lama kedua pemuda yang masing-masing membawa dua pedang-nya ini pun saling beradu. Perkelahian berlangsung sengit dan keduanya sangat hebat dalam bertarung hingga keduanya memiliki kekuatan yang imbang antara satu dengan lainya. Mereka sempat berhenti untuk istirahat, makan serta minum untuk mengembalikan kekuatan yang terkuras.  Setelah kekuatan kedua pemuda ini kembali, mereka bertarung kembali. Namun kedua orang ini sama hebatnya, sehingga Sayyid Haji usman menghampiri kedua pendekar seraya berkata agar mereka berdua hendaknya masing-masing menggunakan satu pedang saja. Maka diambilah satu pedang milik sayyid amir hamzah, dan beliau menyuruh Dandang Wecana untuk juga menanggalkan satu pedangnya. Setelah satu pedang milik Dandang Wecana ini dibuang, Sayyid Usman Haji berkata kepada Sayyid Amir Hamzah agar mempercepat gerakanya dalam menyabetken pedang seraya memotivasi sayyid Amir Hamzah bahwa lawanya itu sudah datang waktu ajalnya. Maka seketika itu Sayyid amir hamzah menebaskan pedang pada dada Dandang Wecana sekali tebas hingga tembus pada lehernya hingga ia pun tewas, Semoga Allah menghukumnya ke neraka sebagai seburuk-buruk balasan.

Ketika Dandang Wurahan putera dari Dandang Wecana mendengar bahwa ayahnya telah tebunuh, maka ia amat marah dan keluar menemui amir hamzah seraya melepaskan busur panahnya menantang Sayyid Hamzah beradu tanding untuk membalas dendam. Maka keduanya beradu tanding hingga tak lama kemudian Dandang wurahan juga tewas sebab pedang Sayyid Amir Hamzah menembus perutnya, Semoga Allah menghukumnya ke neraka sebagai seburuk-buruk balasan.

Setelah itu, keluarlah Lembu Kanigoro putera dari Raden Gugur sekaligus cucu Raja Brawijaya menantang Sayyid Amir Hamzah. Maka keduanya beradu hingga ketika ketika keduanya sedang bertempur Sayyid Haji Usman ikut membantu Sayyid Amir Hamzah dan menebaskan pedang dari belakang punggung menembus ke dada Lembu Kanigoro hingga tewas. Semoga Allah menghukumnya ke neraka sebagai seburuk-buruk balasan.

Maka Adipati Pecat Tundo memerintahkan ketiga pemimpin negeri Terung yakni Sukadana, Pangeran Teraseba dan Pangeran Lawung beserta pasukan masing-masing untuk menuju medan perang. Maka ketiga pasukan ini bergabung dengan tentara majapahit dalam kecamuk perang hingga banyak dari tentara kuffar yang terbunuh. Ketiga anak buah Adipati Pecat Tundo ini ternyata memiliki kekuatan yang hebat hingga mampu membunuh banyak tentara Islam. Maka ketika Sayyid Usman Haji (Sunan Ngudung) mendatangi mereka bertiga dan pasukan untuk bertarung, pasukan mereka kocar kacir dan akhirnya ketiga anak buah Pecat Tundo lari meninggalkan medan tempur. Sayyid Usman Haji pun berkata kepada kakaknya Sayyid Haji Usman untuk mengerahkan pasukan Islam yang masih ditinggalkan di daerah Tunggarana menyapu bersih sisa tentara milik ketiga anak buah Pecat Tundo ini. Maka setelah perintah dilakukan, semua pasukan musuh dapat dimusnahkan dan tinggal ketiga anak buah pecat tundo yang sempat melarikan diri melaporkan situasi kepada Adipati Pecat Tundo. Setelah bertemu dengan adipati Pecat Tundo, ketiganya diperintahkan untuk melakukan penyerbuan balik bersama dengan adipati Luwanu (suruhan Betoro Katong), dan dipimpin oleh Raden Saudara. Maka mereka bersama beberapa pasukan Majapahit melakukan penyerbuan berikutnya hingga pecahlah perang dari kedua pasukan hingga banyak pasukan yang terbunuh kala itu. Perang berlangsung hingga matahari terbenam dan pasukan Islam kala itu hanya tinggal sembilan orang pemuda. Setelah malam menjelang dan kedua pasukan telah kembali ke tenda masing-masing, maka Sayyid Haji Usman berkata kepada Saudaranya Sayyid Usman Haji agar mereka mundur terlabih dahulu untuk mencari bala bantuan. Maka usulan itu diterima, dan tentara Islam untuk kedua kalinya harus mundur dan pulang hingga sampailan mereka pada sebuah daerah bernama Cawu dan merekapun muqim disana beberapa untuk waktu.


Pertemuan 17 : Permintaan bantuan pasukan Islam pada Raja Pandhita di kerajaan Risbaya.

Sayyid Usman Haji kemudian mengutus seorang pemuda untuk menemui ayahnya Sayyid Raja Pandhita yang muqim dan berkuasa di Daerah Risbaya. Beliau memberitahukan bahwa saat itu telah terjadi perang antara Demak dengan Majapahit dan kedua putera Raja Pandhita diutus menjadi pemimpin perang di kubu Demak yang saat ini pasukanya banyak yang telah wafat dalam perang. Mereka menyampaikan keinginan untuk meminta bantuan dari Risbaya agar segera datang ke daerah Cawu. Maka setelah membaca surat dari kedua puteranya, itu, Raden Raja Pandhita menulis surat kepada menantunya Sayyid Kholifah Husein (Penguasa Kertayasa) suami dari Nyai Gedhe Tundho Pinatih dan meminta bantuan pasukan darinya. Maka Sayyid Kholifah Husein memberi pengumuman kepada para pemuda di Kertayasa untuk membantu beliau bergabung dengan tentara Islam.

Diceritakan bahwa kala itu di Negeri Kertayasa terdapat seorang pemuda Ki Cendana yang memiliki dua orang anak bernama Mas bendara Marma, dan Mas bendara Yusuf. Ketika mendengar pengumuman dari Sayyid Khalifah Husein, mereka datang menghadap bersama empat puluh pemuda yang ingin mengabdi untuk tentara Islam. Maka Sayyid Khalifah Husein bersama anaknya Sayyid Khalifah Sughro memimpin pasukan dari Kertayasa yang terkumpul sejumlah 40.000 orang. Mereka pada akhirnya berangkat menuju ke daerah Cawu bergabung dengan Pasukan Islam yang dipimpin oleh Sunan Ngudung.

Ketika itu terjadi, Raden Prabu putera dari Raden Paku (Sunan Giri) mendengar tentara Islam yang berada di daerah Cawu membutuhkan bala bantuan. Maka ia berpesan kepada isterinya agar bersiap-siap untuk menjaga diri sebab beliau ingin meninggalkan dirinya mengabdi berjihad di jalan Allah. Maka para auliya’ Allah tadi bersama-sama menuju ke daerah Cawu menemui Sayyid Haji Usman dan Sayyid Usman Haji. Setelah semuanya bertemu maka mereka berbaiat untuk bergabung dalam jihad fii sabiilillah (dan pasukan Islam mulai berangkat menggempur majapahit)

Ketika itu, pemimpin desa pakis bernama ki Jaran Pamburu mendengar bahwa tentara Islam telah sampaii di daerah Cawu, maka ia memanggil ke-empat pimpinan daerah Pakis bernama Karsani, Kalangan, Ardi Sari dan Gajah Mungkur untuk membantunya mencegat pasukan Islam tadi agar pulang ke daerah mereka masing-masing dan tidak mengganggu kerajaan Majapahit. Maka keempat pimpinan pakis itu mengumpulkan pasukan dan menghadang pasukan Islam di daerah bernama Majalir. Ketika pasukan Islam telah sampai di Majalir, ke-empat anak buah ki Jaran Pamburu bersama pasukanya itu menghadang kaum muslimin dan terjadilah pertempuran sengit disana hingga pasukan pakis kalah telak dan seluruh prajurit mereka mati kecuai ke-empat pemimpin perang mereka. Maka Bendara Marma dan Bendara Yusuf bersama para pemuda yang menjadi pasukanya bertemu ke-empat orang tadi. Dan terjadi pertarungan antara Bendara marma dengan pemimpin Ardisari, namun tak lama berselang datanglah bendara yusuf yang menebas perut ardisari hingga mati. Semoga Allah menghukumnya ke neraka sebagai seburuk-buruk balasan. Melihat hal itu, ketiga temanya yakni Gajah Mungkur, Kelangan dan Kersan marah besar dan ia membabi buta membunuh banyak dari tentara Islam. Maka keluarlah Sayyid Khalifah Husein membawa pedang di tanganya dan berperang melawan ketiga orang itu hingga mereka semuanya dapat dikalahkan dan tewas. Semoga Allah menghukumnya ke neraka sebagai seburuk-buruk balasan.


Pertemuan 18 : Laporan Ki Jaran Pamburu (Adipati Pakis) kepada Raja Majapahit dan Pertempuran di Mojo Lebak

Ketika ki jaran pamburu mengetahui bahwa seluruh pasukanya terbunuh, ia segera mengambil kendali kudanya dan mengendarainya dengan cepat menuju ke negeri Majapahit. Sesampainya disana, ia menghadap raja Brawijaya dan melaporkan keadaan pasukanya yang luluh lantak oleh pasukan Islam dari Kertayasa yang kala itu telah sampai di daerah Majalir dan hendak memasuki Majapahit. Maka Raja Brawijaya memerintahkan Patih Gajah Mada untuk mengumpulkan pasukan dan mempersiapkan peralatan perang bersama Raden kerta pemimpin Mojosari, dan Ki Jaran Pamburu pemimpin pakis. Dengan segera Patih Gajah Mada melaksanakan tugas dari Prabu Brawijaya menyiapkan pasukan Majapahit yang dipimpin Raden Saudara dengan membentangkan bendera serta menabuh genderang perang. Mereka meneriakan suara dengan lantangnya hingga saat matahari terbenam pasukan Majapahit telah sampai di daerah Mojolebak.

Adapun Sayyid Usman Haji (Sunan Ngudung) bersama rombongan pasukan Islam juga telah sampai di Mojolebak. Ketika mereka melihat tentara majapahit juga sudah sampai disana, maka dengan sigap Beliau membagi pasukan tempur Islam dalam tiga kelompok. Kelompok pertama yang akan maju terlebih dahulu ke medan perang dipimpin oleh Sayyid Khalifah Sughro. Ketika ki jaran pamburu melihat pasukan Islam telah sampai di mojolebak, ia berkata kepada pimpinan utama pasukan Majapahit yakni Raden Saudara untuk bersiap-siap. Maka bertemulah kedua kelompok ini dan terjadilah peperangan hingga banyak dari pasukan Islam yang syahid kala itu. Demikian pula dari pihak Majapahit juga dibuat kalang kabut hingga tinggal tiga orang tersisa dari mereka yakni Raden Saudara, Raden Kerta (pemimpin Mojosekar atau Mojosari) dan Ki Jaran Pamburu (pemimpin Pakis). Maka Raden Saudara dan Pemimpin Mojosari maju ke medan laga dan menghabisi banyak dari pasukan Islam. Akhirnya Sayyid Khalifah sughro keluar membawa busur panah dan dengan tangkasnya beliau memanah Raden Kerta (pemimpin Mojosari) hingga tepat pada dada dan ia pun tersungkur tewas. Semoga Allah menghukumnya ke neraka sebagai seburuk-buruk balasan.

Mengetahui akan hal itu, Raden Saudara menghampiri Sayyid Khalifah Sughro dan terjadilah adu tanding antar keduanya. Ketika melihat pertarungan mereka, Sayyid Amir Hamzah menghampiri dan membantu Sayyid Khalifah Sughro. Namun mereka berdua belum bisa mengalahkan kesaktian Raden Saudara. Salah satu tentara Islam bernama Raden Ajeng Marwi menghampiri Sayyid Khalifah Sughro dan Sayyid Amir Hamzah seraya meminta ijin kepada kedua pimpinanya itu agar beristirahat terlebih dahulu dan dirinya ingin menjajal kesaktian Raden Saudara. Maka dengan membawa sebilah tombak di tanganya yang bernama Tombak Wali Kukun Raden Ajeng Marwi maju berhadapan dengan Raden Saudara dan terjadi perang adu tanding antar kedua orang ini. Raden Saudara mengayunkan kesana kemari pedangnya namun selalu bisa ditangkis oleh tombak milik Raden Ajeng Marwi ini. Akhirnya tombak wali kukun berhasil memukul mata raden Saudara hingga ia tak mampu membuka matanya. Raden Ajeng Marwi berteriak dengan kerasnya diiringi pukulan tombak pada kaki Raden Saudara yang membuatnya terjatuh dan oleh pemuda-pemuda Madura, Raden Saudara diserbu dan dipukuli bersama-sama hingga ia pun tewas. Semoga Allah menghukumnya ke neraka sebagai seburuk-buruk balasan.

Ketika ki jaran Pamburu mengetahui bahwa Raden Saudara telah tewas terbunuh, segera ia mengambil kuda dan menaikinya menuju kawanan kaum muslimin seraya menantang adu tanding. Namun ketika melihat jumlah pasukan yang sedemikian banyak dan kesemuanya memiliki ghirroh/kesemangatan yang luar biasa, maka Ki Jaran Pamburu menjadi ciut nyalinya dan iapun melarikan diri menuju ke majapahit untuk melaporkan situasi kepada Raja Brawijaya.

Setelah mendengar bahwa seluruh pasukan yang dikirim telah kalah dan kedua menterinya yakni Raden Saudara dan Raden Kerta juga ikut terbunuh, maka segera Raja Brawijaya memerintahkan kepada Patih Gajah Mada untuk memimpin pasukan majapahit bersama Adipati Pecat Tundo dan anaknya Raden Gugur untuk memimpin 90.000 pasukan menghalau kedatangan pasukan islam. Maka berangkatlah pasukan dalam jumlah besar ini hingga sampailah mereka di suatu daerah bernama Mojo Agung. Adapun menteri Arya Bangah bersama dengan adipati luwanu dan ki jaran pamburu yang saat itu diperintahkan untuk menjaga wilayah kerajaan, sedangkan pintu gerbang kerajaan dijaga oleh Arya Jambul dan Adipati Citra Kusuma pemimpin negeri wilis bersama pasukan masing-masing.

 

PARA TOKOH DALAM PENYERBUAN ISLAM KE MAJAPAHIT (Perang di Mojolebak)

No

Pasukan Islam

Pasukan Majapahit

1

Sayyid Usman Haji (Sunan Ngudung)

Raden Saudara (Mati oleh Raden Ajeng Marwi, dkk)

2

Sayyid Khalifah Sughro

Raden Kerta, Mati oleh panah Sayyid Khalifah Sughro

3

Sayyid Amir Hamzah

Ki Jaran Pamburu (Pemimpin Pakis), melarikan diri

4

Raden Ajeng Marwi

 

Keterangan : Raden Saudara mati setelah tombak Wali Kukun milik Radeng Marwi mengenai matanya hingga kemudian ia terjatuh dan dikeroyok tentara Islam.


Pertemuan 19 : Pertempuran di Mojo Agung

Adapun pasukan Islam yang dipimpin oleh Raden Usman Haji (Sunan Ngudung) juga telah merangsek masuk hingga ke daerah Mojo Agung. Ketika melihat pasukan kuffar Majapahit telah terlebih dahulu sampai disana maka tentara Islam dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama yang akan mendahului perang dipimpin oleh Sayyid Khalifah Sughro bersama Mas Bendara Marma dan Mas Bendara Yusuf. Saat itu tentara majapahit telah siap tempur di daerah Mojo Agung tepatnya di desa Petukuran. Setelah pasukan islam mulai menyerbu, terjadilah perang antara kedua pihak. Suara pedang yang saling bertemu serta teriakan dan jeritan berkecamuk layaknya lebah yang sedang beterbangan kesana kemari. Banyak tentara Islam yang telah terbunuh saat itu. Akhirnya Sayyid Khalifah Sughro keluar dan menantang adu tanding dan yang menerima tantangan itu dari pasukan Majapahit adalah pemimpin utama mereka yakni Raden Gugur sang putera mahkota. Terjadilah adu tanding dari kedua tokoh ini, hingga sebilah pedang milik Raden Gugur pada akhirnya menembus perut Sayyid Khalifah Sughro hingga beliau tersungkur dalam syahidnya. Semoga Allah SWT meridloinya dan menjadikan syurga yang penuh kenikmatan sebagai tempat akhirnya.

Berikutnya Mas Bendara Marma yang menghampiri Raden Gugur, namun tak berlangsung lama setelah beradu tanding Mas Bendara Marma tersungkur dengan kondisi dada yang tertancap pedang dan wafat dalam kesyahidan. Semoga Allah SWT meridloinya dan menjadikan syurga sebagai tempat akhirnya. Selanjutnya Raden Mas Bendara Yusuf maju ke medan laga untuk membalaskan kewafatan saudaranya. Adu tanding itu tidak berlangsung lama sebab sabetan pedang milik Raden Gugur mengenai perut Raden Mas Bendara Yusuf hingga ia wafat. Semoga Allah SWT meridloinya dan menjadikan syurga sebagai tempat akhirnya.

Sayyid Usman Haji akhirnya keluar bersama kelompok pasukan kedua untuk memerangi kaum kuffar. Maka berkecamuklah perang untuk kesekian kalinya, hingga banyak dari pasukan Islam yang wafat di medan tempur. Dari kelompok Muslimin sendiri akhirnya tinggal sepuluh pemuda saja, diantara mereka adalah Sayyid Usman Haji, Sayyid Haji Usman, Raden Prabu, Sayyid Khalifah Husein, Sayyid Amir Hamzah, Sayyid Khatib Bentoro atau Raden Mas Winong.

Maka Sayyid Amir Hamzah menantang duel adu tanding dan dari pasukan majapahit mengeluarkan Prabu Andaya Ningrat. Tak lama adu tanding berlangsung, Sayyid Amir Hamzah menebas dada Prabu Andaya Ningrat hingga ia tewas. Semoga Allah menghukumnya ke neraka sebagai seburuk-buruk balasan. Selanjutnya Raden gugur yang kembali keluar mewakili pasukan majapahit dan melakukan adu tanding dengan Sayyid Amir Hamzah. Ketika perang berlangsung, secara tiba-tiba Adipati Pecat tundo melepaskan anak panah hingga menembus dada Sayyid Amir hamzah hingga wafatlah sang Singa Allah ini. Semoga Allah SWT meridloinya dan menjadikan syurga sebagai tempat akhirnya.

Melihat akan hal itu, Sayyid Khalifah Husein menghampiri Raden Gugur dan menebaskan pedangnya hingga mengenai perut Raden Gugur hingga tubuhnya terpisah. Maka tewaslah sang putera mahkota dari kerajaan Majapahit ini. Semoga Allah menghukumnya ke neraka sebagai seburuk-buruk balasan.

Setelah itu, Sayyid Khalifah Husein menghampiri Adipati pecat tundo (Raden Husein bin arya Damar) dengan membawa sebilah pedang di tanganya. Ketika hendak menebaskan pedangnya Sayyid Khalifah Husein kalah cepat, justeru pedang milik Adipati Pecat Tundo yang keburu menancapkan di dada Sayyid Khalifah Husein hingga robohlah sang pahlawan ini dalam kesyahidanya. Semoga Allah SWT meridloinya dan menjadikan syurga sebagai tempat akhirnya. Berikutnya Khatib bentoro atau Raden Mas Winong menghampiri Adipati Pecat Tundo membawa sebilah keris, namun dengan sekejap Adipati Pecat Tundo menebas dada Beliau hingga tertembus dan wafatlah Khatib Bentoro. Semoga Allah SWT meridloinya dan menjadikan syurga sebagai tempat akhirnya.


Pertemuan 20 : Wafatnya Raden Usman Haji (Sunan Ngudung) dan kembalinya kedua pihak ke kerajaan masing-masing

Setelah melihat banyak dari sisa pasukan yang satu per satu gugur dalam medan perang, maka sayyid Usman Haji yang pada akhirnya maju untuk menghadapi Adipati Pecat Tundo. Maka terjadilah adu tanding dari kedua Pemimpin perang ini, namun tak berselang lama anak panah milik adipati pecat tundo mengenai perut sang panglima perang Raden Usman Haji (Sunan Ngudung). Beliau Sang Panglima Perang Islam akhirnya tersungkur dan wafat dalam kesyahidan menghadap Allah SWT. Semoga Allah SWT meridloinya dan menjadikan syurga sebagai tempat akhirnya.

 

PARA TOKOH DALAM PENYERBUAN ISLAM KE MAJAPAHIT (Perang di Petukuran, Mojo Agung)

No

Pasukan Islam

Pasukan Majapahit

1

Raden Usman Haji (Wafat di tangan Adipati Pecat tundo)

Raden Gugur (Mati terpisah tubuhnya oleh Sayyid Khalifah Husein)

2

Sayyid Khalifah Sughro (Wafat oleh Raden Gugur)

Prabu Andaya Ningrat (Mati oleh Sayyid Amir Hamzah)

3

Mas Bendara Marma (Wafat oleh Raden Gugur)

 

4

Mas Bendara Yusuf (Wafat oleh Raden Gugur)

 

5

Sayyid Amir Hamzah (Wafat oleh Adipati Pecat tundo)

 

6

Sayyid Khalifah Husein (Wafat oleh Adipati Pecat tundo)

 

7

Khatib Bentoro/Mas Winong (Wafat oleh Adipati Pecat tundo)

 

Keterangan : Perang habis-habisan di Petukuran, Mojo Agung ini hanya menyisakan enam pasukan dari pihak Islam

Maka berakhirlah peperangan kala itu dengan sisa pasukan Islam dari tentara Islam Demak yang hanya tinggal enam orang saja diantaranya adalah Sayyid Haji Usman, dan Raden Prabu. Kemudian Raden Prabu meminta pendapat kepada Sayyid Haji Usman tentang apa yang harus dilakukan setelah wafatnya sang Panglima Perang Sayyid Usman Haji (Sunan Ngudung). Sayyid Haji Usman kemudian mengusulkan agar sisa dari ke-enam pasukan ini pulang ke demak, menyusun strategi. Namun sebelum pulang hendaknya mereka mencari jasad Sayyid Usman Haji terlebih dahulu untuk dibawa ke negeri Demak dan melaporkan situasi kepada Raja Raden Fattah. Kemudian usulan tersebut disepakati dan mereka-pun mencari jasad Sayyid Usman Haji. Setelah menemukan jasad sang panglima, maka mereka segera membawanya pulang ke negeri demak melewati gunung dan lembah hingga sampailah mereka ke tanah airnya.

Sesampai di Demak, dilaporkanlah hasil penyerbuan ke Majapahit sesuai kisah yang telah mereka lalui dari awal hingga akhirnya. Raja Raden Fattah memanggil isteri dari Sayyid Usman Haji dan menyampaikan kabar tentang wafatnya suami beliau. Saat beliau melihat jasad suaminya yang telah terbunuh itu, maka menangislah ia sejadinya. Melihat akan hal itu, Sang Khalifah (Raja Raden Fattah) memberi nasehat agar beliau tidak meronta-ronta sebaiknya mendoakan agar pengorbanan beliau dibalas dengan yang lebih baik di sisi Allah SWT.

Adapun keadaan kaum kuffar Majapahit, maka ketika patih Gajah Mada kembali dari Petukuran, ia disambut sorak sorai dengan teriakan kemenangan oleh tentaranya. Akhirnya mereka bersama-sama pulang menuju negeri Majapahit. Setelah bertemu dengan sang raja, ia melaporkan hasil peperangan kepada Prabu Brawijaya dengan menyatakan kemenangan telak atas pasukan Islam Demak sebab pemimpin mereka yakni Sayyid Usman Haji (Sunan Ngudung) telah berhasil dibunuh. Pasukan musuh kala itu hanya tersisa enam orang yang mereka lari menyembunyikan diri hingga tidak ditemukan setelah dicari. Namun peperangan tersebut telah merenggut putera mahkotanya yakni Pangeran Gugur, begitupula menantunya Prabu Andaya Ningrat. Maka bersedihlah hati Prabu Brawijaya ketika mendengar kematian dari anak kesayanganya juga para punggawa kerajaanya. Dalam peperangan itu, kerajaan Majapahit kehilangan sembilan orang menteri dan pembesar kerajaanya yakni Pangeran Gajah Sina, Pangeran Ulung Kembang, Pangeran Dandang Wecana, Pangeran Dandang Wurahan, Pangeran Lembu Kanigara, Raden Kerta, Raden Saudara, Raden Gugur juga Prabu Andaya Ningrat. Demikian pula tak terhitung jumlahnya prajurit Majapahit yang telah gugur di medan perang. Amat luar biasa kesedihan yang saat itu dirasakan oleh Raja Prabu Brawijaya. Kemudian Prabu Brawijaya berkata kepada Patih Gajah Mada agar dengan segera mengumpulkan sisa punggawa kerajaan dan para pemimpin yang akan meneruskan tampuk kekuasaan di Negeri Majapahit sebagai ganti dari kesembilan punggawa kerajaan yang telah mati itu.

Maka diangkatlah beberapa pangeran untuk menggantikan posisi para punggawa kerajaan yang telah terbunuh yakni :

a.         Pangeran Lembu Nasroya bin Raden Gugur sebagai ganti dari ayahnya

b.         Gajah Pernala bin Gajah Sina diangkat untuk menggantikan posisi Dandang Wurahan

c.          Gajah Perwana menggantikan posisi Dandang Wecana,

d.         Gajah Palwaka menggantikan posisi Gajah Sina,

e.         Raden Jaya Prawira putera Gajah Mada menggantikan posisi Lembu Kanigara,

f.          Raden Lembusura putera Gajah Mada menggantikan posisi Raden Kerta pemimpin Mojosari,

g.         Raden Gajah Wulung putera Gajah Mada menggantikan posisi Pangeran Ulung Kembang, dan

h.         posisi penguasan Pengging digantikan oleh anaknya sendiri


Pertemuan 21 : Nasehat Raden Paku kepada Raden Fatah dan Bantuan 2 kotak pusaka Arya Damar

Adapun kondisi di Kerajaan Demak, maka setelah Raden Fattah menanggung kekalahan atas peperangan melawan Majapahit, amat sedihlah perasaan dari Raden Fattah. Ketika Beliau melihat banyak dari tentara Islam yang wafat dalam peperangan. Maka Raden Fattah bertanya kepada Raden Paku (Sunan Giri) seraya meminta pendapatnya atas kondisi yang ditimpa kaum Muslimin. Adapun Raden Paku menjawab bahwa seperti demikianlah sunnatulloh dalam masa-masa lampu, bahwa perang antara kaum muslimin dengan kafirin tentu membutuhkan pengorbanan. Dan Allah SWt tentu akan selalu menguji hamba-Nya hingga nampaklah siapa yang benar-benar bertaqwa yang patut menerima hasil, serta pertolongan Allah dan tentunya kemenangan pasti akan diperoleh kaum muslimin sebagaimana janji Allah :

Artinya :   140. Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim, (QS. Ali-Imron : 140)

Artinya :   031. Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu; dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu. (QS. Muhammad : 31)

وَكَانَ حَقّاً عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ ﴿٤٧﴾

Artinya :   .... Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman. (QS. Ar-Ruum : 47)

Maka hendaknya kita meninggalkan perasaan takut dan kesedihan di belang kita, dan hendaknya kita bersabar atas apa yang menimpa pada diri kita dan bersegera melakukan kewajiban dari Allah atas kita untuk memerangi musuh kita.

Kemudian Raden Paku memberikan pendapatnya : Adapun menurut saya sebaiknya engkau menjadikan Sayyid Amir Haji (Sunan Kudus) untuk menggantikan posisi ayahnya Sayyid Usman Haji. Kemudian tulislah surat kepada Prabu Arya Damar (Palembang) untuk memberitahukan apa yang saat ini telah terjadi kepada Beliau dan mintalah bantuan dari Beliau. Maka Raden Fattah menjawab : Demikian ini adalah pendapat terbaik. Maka segeralah Raden Fattah menuliskan sebuah surat untuk Prabu Arya Damar.

Raden Fattah bercerita dalam suratnya tentang situasi dan kondisi yang terjadi antara kerajaan Demak dengan Kerajaan Majapahit serta peperangan yang telah menghabiskan banyak harta serta nyawa. Beliau memberitahukan bahwa kerajaan Demak telah kehilangan panglima perangnya yakni Sayyid Usman Haji (Sunan Ngudung) yang telah dibunuh oleh putera beliau yakni Raden  Husein alias Adipati Pecat Tundo. Sayyid Husein telah memihak kepada Majapahit sebab saat itu ia telah dijadikan Adipati di daerah Terung oleh Raja Brawijaya.

Surat tersebut kemudian dikirim ke Negeri Palembang melalui dua orang utusan dari demak. Setelah berada di hadapan Prabu Arya Damar surat dari Raden Fattah sang raja Demak tersebut disampaikan ke Beliau. Setelah membaca surat dari Raden Fattah dan memahami situasi yang tengah terjadi, maka Prabu Arya Damar sangat kepada Raden Husein yang telah membantu orang-orang kafir majapahit dan meninggalkan agamanya serta melupakan akhirat hanya demi duniawi yang hina. Maka sang Prabu Arya Damar memerintah agar kedua kotak pusaka miliknya dihadirkan ke hadapan kedua utusan dari demak ini. Inilah kotak pusaka yang masing-masing berisi tongkat sakti yang ditaati oleh segerombolan jin dan syaitan. Tongkat tersebut merupakan pusaka peninggalan dari ibu Prabu Arya Damar yang merupakan puteri dari Reksadana. Setelah kedua kotak pusaka itu dihadirkan, maka Prabu Arya Damar memasrahkanya kepada sang utusan Demak seraya berpesan agar kedua kotak itu dibawa ke Demak dan disampaikan kepada Raden Fattah. Beliau berpesan agar kedua kotak ini jangan sampai dibuka oleh siapapun sebelum pasukan Demak sampai di dekat Negeri Majapahit. Maka dibawalah kedua kotak ini menuju ke Demak dan disampaikanlah pesan dari Prabu Arya Damar kepada Raden Fattah. Kala itu Raden Paku yang sedang berada disamping Raden Fattah dan ikut mendengarkan keterangan dari kedua utusan Demak. Raden Paku menimpali laporan kedua utusan tadi dengan usulan agar Raden Fattah bersegera untuk mengumpulkan pasukan untuk melakukan penyerangan lanjutan ke Negeri Majapahit.

Maka Raden Fattah berkata kepada patihnya Abdus-salam agar segera mengumpulkan para punggawa kerajaan Demak bersama sisa pasukan mereka untuk melakukan penyerangan ke sekian kalinya ke Majapahit. Saat itu berkumpulah sekitar 300-an pemuda dipimpin oleh Raden Amir Haji (Sunan Kudus). Setelah itu berkumpulah Raden Amir Haji (Sunan Kudus), Raden Haji Usman (Sunan Mayuran), Raden Syahid (Sunan Kalijaga), Raden Prabu, Sayyid Muhsin (Sunan Wilis suami dari Dewi Mutma’inah binti Sayyid Rahmat), Raden Qosim (Sunan Derajad), juga Raden Sa’id. Merekalah ketujuh orang yang tergabung dalam Dewan Sunan, yang kemudian Raden Paku (Sunan Giri), Raden Fattah (Sunan Demak) serta Sayyid Ibrahim (Sunan Bonang) sebagai penggenap sepuluh auliya’.

                       


Pertemuan 22 : Pernyerbuan kedua Majapahit dipimpin Raden Amir Haji (Sunan Kudus) dan Tragedi pembukaan salah satu Kotak Pusaka dari Arya Damar

Ketika seluruh anggota Dewan wali terkumpul, maka Raden Fattah berpidato dan menitahkan kepada tujuh wali tadi untuk kembali menyerbu Majapahit. 300 pasukan yang telah terkumpul beserta dua buah kotak pusaka milik Prabu Arya Damar telah disiapkan, dan Raden Fattah berpesan agar kotak pusaka tersebut jangan sampai dibuka sebelum para pasukan sampai di daerah yang dekat dengan Majapahit. Raden Fattah memilih Raden Amir Haji (Sunan Kudus) sebagai panglima perang untuk menggantikan posisi ayah beliau (Sunan Ngudung). Seluruh prajurit yang hadir saat itu sendiko dawuh atas titah sang raja, Kemudian pasukan Demak keluar menuju ke Negeri Majapahit.

Di Setiap perjalanan yang dilalui, terdapat para pasukan tambahan dari kaum muslimin yang ingin mengabdikan diri kepada kerajaan Demak. Dikatakan bahwa saat itu jumlah pasukan muslim bertambah sedikit demi sedikit hingga jumlahnya mencapai 70.000 orang prajurit. Maka mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Majapahit dengan para pasukan juga dengan kedua kotak pusaka milik Prabu Arya Damar.

Dikisahkan bahwa ketika para pasukan telah sampai di suatu desa bernama Ngepon (arah utara dari Jatirogo, Tuban) ternyata kedua orang pembawa kotak pusaka tadi tertinggal di belakang. Kedua orang ini beristirahat hingga mereka tertinggal jauh dari rombongan. Ketika keduanya tengah beristirahat, tiba-tiba timbul rasa penasaran di hati salah satu dari pembawa kotak pusaka. Ia penasaran bagaimana bisa kedua kotak yang hanya berisi tongkat itu bisa menolong pasukan Islam dalam peperangan. Maka salah satu dari keduanya berinisiatif untuk membuka kotak pusaka agar bisa mengetahui isinya. Salah satu-nya menasehati agar jangan pernah untuk membukanya, sebab bukan kewenangan mereka untuk membuka isi dari kotak pusaka tersebut. Namun setelah dinasehati temanya ia tidak mau menerima dan tetap bersikukuh untuk membuka kotak yang ia bawa tadi. Setelah salah satu kotak itu dibuka maka terdengarlah suara seperti gerombolan lebah yang beterbangan dan diyakini bahwa isi dari kotak tersebut kala itu telah keluar. Prajurit pembuka kotak pusaka tadi menjadi takut dan mengkhawatirkan nasibnya sendiri atas pengkhiyanatan yang ia lakukan kepada Amiril Mikminin. Ia tak berani melanjutkan perjalanan sebab kuatir mendapat murka dari sang Khalifah dan mempersilakan temanya melanjutkan perjalanan menyusul rombongan yang tengah mendahului.

Setelah ditinggalkan oleh temanya, maka pemuda tadi berjalan mengitari desa ngepon hingga sampailah ia di sebuah rumah milik perempuan tua yang dihuni oleh seorang wanita bernama Nyai Sibeluk. Sang empunya rumah bertanya kepada orang asing yang datang ke rumah beliau ini, dan akhirnya orang tersebut bercerita apa adanya atas apa yang telah ia lakukan terhadap pasukan Demak. Ia menyesali diri sebab telah mengkhiyanati kepercayaan yang diamanahkan kepadanya. Maka Nyai Sibeluk menghibur dirinya agar tidak terlalu bersusah hati, sebab ia telah berada di tempat yang aman milik dari salah satu murid kesayangan Sayyid Ibrahim (Sunan Bonang). Beliau berjanji akan meminta gurunya untuk meminta maaf dari Penguasa Demak dan menjamin keamanan sang prajurit selama berada di rumah beliau itu. Maka sang prajurit tadi bermuqim di ngepon hingga setelah lama menunggu Sunan Bonang tak kunjung datang kesitu. Prajurit itu pada akhirnya meninggal dan diquburkan di sebelah barat jalan di tempat yang oleh warga sekitar menyebutnya Mbah Punjul, dan qubur beliau masih diziarahi hingga saat ini.

Adapun Nyai Sibeluk yang sebelumnya telah pernah berkata bahwa : Tidak ada dari pegawai negara di desa ngepon yang mati dan diquburkan disana kecuali ia akan mati kesepian dengan hasil amal mereka sendiri, dan hal ini adalah salah satu keramat beliau. Sedang quburnya Nyai Sibeluk berada di Ngepon, sebelah timur dari jalan dan diziarahi hingga sekarang ini. Semoga Allah merahmati beliau atas kasih sayangnya kepada orang yang bersalah ini.

 

Pertemuan 23 : Kotak Pusaka penebar wabah Pagebluk di Negeri Majapahit

Adapun pembawa kotak pusaka yang satunya maka setelah ia selesai dari istirahatnya, segera ia menyusul rombongan hingga sampailah ia di sebuah daerah yang dekat dengan Majapahit yang disebut dengan Desa Bagendul dekat dengan Majapahit. Maka dibukalah kotak pusaka milik Prabu Arya Damar itu dan keluarlah darinya isi dari khodam kotak pusaka tadi beserta para syetan, serta para jin ‘ifrit yang ganas. Pasca pembukaan kotak tersebut, di Majapahit mewabah penyakit Tho’un (pagebluk) serta kematian yang ganas. Jika ada yang sakit di waktu pagi, maka sore harinya ia akan mati dan jika terjadi orang sakit di waktu sore maka ia akan mati di kala pagi nya. Sehingga tongkat pusaka tadi memakan banyak korban dari rakyat Majapahit hingga tak terhitung jumlahnya. Bahkan ke-empat dari pembesar kerajaan Majapahit ikut menjadi korban sang pagebluk ini yakni Raden Gajah Pernala, Raden Gajah Perwana, Raden Jaya Prawira serta Raden Lembu Sura. Maka amat bersedihlah perasaan adipati Luwanu atas apa yang menimpa kerajaan Majapahit. Hingga ia memutuskan untuk menemui Ki Jaran Pamburu (Pemimpin Pakis) dan hendak berpamitan kepadanya untuk keluar dari negeri Majapahit sebab serangan wabah pagebluk itu makin ganas. Adipati Luwanu telah menduga bahwa wabah tersebut pasti ada hubunganya dengan Raja Demak sehingga ia hendak bersegera menemui Raja Demak. Setelah keduanya bertemu, Ki Jaran Pamburu justeru berniat untuk mengikuti jejak langkah Adipati Luwanu. Sebab telah banyak dari para pembantu di rumahnya yang biasanya mencarikan rumput untuk kuda persia miliknya ikut mati menjadi korban pagebluk ini. Hal ini membuat Ki Jaran Pamburu harus mencari rumput sendiri, sehingga kuda kesayanganya mati kelaparan akibat ia tak mampu merawatnya dengan baik.

Pemimpin Pakis dan Luwanu ini akhirnya meninggalkan Majapahit dengan menunggang kuda mereka tanpa berpamitan kepada Prabu brawijaya. Mereka memacu kuda nya dengan amat cepat hingga ketika sampai di negeri Ponorogo mereka berdua mampir untuk menemui Betoro Katong dan menyampaikan maksud perjalanan mereka hendak menuju ke demak. Maka pemimpin pakis (Ki Jaran Pamburu) menjelaskan situasi terkini dari kerajaan Majapahit yang telah kehilangan banyak punggawa serta prajuritnya dalam perang melawan Demak. Mereka juga menyampaikan keadaan pagebluk ganas yang kala itu sedang melanda negeri Majapahit. Mereka singgah ke Ponorogo dengan maksud meminta ijin dari Betoro Katong untuk melakukan perjalanan ke Demak untuk meminta pengampunan dari raja Demak dan mencari keamanan untuk diri mereka. Maka Betoro Katong mengijinkan mereka untuk melanjutkan perjalanan dan ia berpesan agar mereka berdua menyampaikan kepada Raden Fattah bahwa Betoro Katong Sang penguasa Ponorogo telah masuk Islam.

Kedua adipati ini melanjutkan perjalananya menaiki kuda mereka menuju ke Negeri Demak mencari keamanan serta masuk ke dalam agama Islam di tangan Raden Fattah. Mereka mengucapkan kedua kalimah syahadat di hadapan Raden Fattah, dan keduanya di jamin keselamatanya sebab telah masuk Islam. Kemudian adipati Pakis juga menyampaikan berita gembira atas masuk islamnya Betoro Katong dan ia menyatakan islam di tangan sang Raja Demak ini. Maka rasa syukur di hati Raden Fattah terucap seketika dengan dzikirnya :

اْلحَمْدُ لِلّهِ عَلَى مَاهَدَاهُ لِلْإِسْلَامٍ                                  

Segala Puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada-nya (Betoro Katong) atas agama Islam”.

Inilah yang terjadi kepada ketiga tokoh Majapahit (Yakni Adipati Luwanu, Adipati Pakis dan Betoro Katong)


Pertemuan 24 : Penyerbuan Pusat kota Majapahit

Adapun Sayyid Amir Haji (Sunan Kudus) bersama tentaranya pasukan Islam sebagaimana telah disampaikan sebelumnya bahwa mereka telah sampai di desa Bagendul. Sayyid Amir Haji memerintahkan agar sebagian pasukanya merangseng memasuki pusat kota Majapahit. Ketika mereka telah sampai di dekat pusat kota Majapahit, maka Raden Gajah Paluwaka bersegera berlari menghadap kepada Raja Brawijaya untuk melaporkan situasi terkini. Raja Brawijaya memerintahkan agar Gajah Paluwaka segera menemui Patih Gajah Mada, Menteri Gajah Wila, Menteri Arya Bangah serta Menteri Gajah Wulung dan memerintahkan agar ke-empat menteri itu segera berkumpul di kerajaan saat itu juga.

Segeralah diutus seorang prajurit untuk menemui ke-empat menteri utama kerajaan Majapahit itu. Namun ironi, ketika ia sampai di rumah Patih Gajah Mada, terdengar olehnya suara jeritan dan tangisan. Setelah ditanyakan kepada anggota keluarga tentang apa yang telah terjadi, ternyata sang patih telah mati sebab pagebluk ini. Sang utusan bersegera menuju ke rumah Gajah Wila, namun ternyata Menteri Gajah Wila baru saja selesai persiapan untuk diquburkan jasadnya yang telah mati. Segera utusan tadi menuju ke rumah Manteri Arya Bangah, namun kala itu sang menteri tengah sakit keras dalam sakarotul mautnya. Dan terakhir sang utusan itu bersegera menuju ke negeri Brangkal menemui Menteri Gajah Wulung dan mengajaknya untuk segera menuju ke Majapahit. Akhirnya hanya Gajah Wulung yang bisa hadir menghadap raja Brawijaya. Prajurit utusan tadi menjelaskan tentang apa yang tengah menimpa pada ketiga menteri utama Majapahit sehingga hanya Gajah Wulung saja yang dapat menghadap ke sang Raja.

Raja Brawijaya pada akhirnya memerintahkan kepada sisa menterinya yakni Gajah Wulung untuk menghalau pasukan Demak bersama Adipati Pecat Tundo juga Citrasuma bersama prajurit yang masih hidup. Maka ia ketiga tokoh dari Majapahit ini bersama-sama menuju lokasi pasukan Demak. Namun sayang di tengah perjalanan itu sang pemimpin perang Majapahit yakni Gajah Wulung jatuh tersungkur dan seketika itu mati. Sisa pasukan tadi melanjutkan perjalananya, namun begitu baru beberapa langkah sang pendamping panglima yakni Adipati Citrasuma juga ikut terjatuh dari kudanya hingga ia mati. Maka hanya tinggal Adipati Pecat Tundo yang memimpin pasukan Majapahit hingga sampailah mereka di perbatasan kota Majapahit dan pada akhirnya bertemu dengan pasukan Demak. Selanjutnya terjadilah peperangan antar kedua pasukan ini.

Saat itu Raden Syahid (Sunan Kalijaga) menunjuk dengan tongkatnya kepada orang-orang kafir majapahit hingga siapapun yang Beliau tunjuk dengan tongkat tadi akan hilang konsentrasinya dan timbul rasa sesak di dada mereka hingga mereka dengan mudah dikalahkan oleh pasukan Islam.

Saat itu nampaklah dihadapan Adipati Pecat Tundo yakni sang Panglima Perang demak beliau Raden Amir Haji (Sunan Kudus), dan juga Raden Syahid. Ia pun teringat bahwa dirinya lah yang telah membunuh Sayyid Amir Haji (Sunan Ngudung) juga Raden Amir Hamzah (Putera Sayyid Muhsin/Sunan Wilis). Maka timbul rasa takut pada diri Pecat Tundo, ia takut kalau Sunan Kudus datang untuk membalaskan dendam atas kewafat-an ayahnya yakni Sunan Ngudung. Maka ia melarikan diri menuju ke negerinya sendiri yakni Terung.

Adapun Adipati Arya Jambul yang telah diserahi tugas menjaga pintu masuk kerajaan Majapahit, telah melihat Adipati Pecat tundo melarikan diri. Maka bersegeralah ia bersama sisa pasukan penjaga pintu kerajaan untuk mundur dan melaporkan situasi kepada Prabu Brawijaya bahwa tentara demak telah memasuki area kota Majapahit. Sang Raja segera menemui ratu permaisurinya yakni Dewi Marta Ningrum dan menawari Beliau untuk mengikutinya melarikan diri dari kejaran tentara demak. Sang Ratu justeru enggan mengikuti-nya dan memilih untuk tetap menghuni istana Majapahit. Akhirnya Raja Brawijaya melarikan diri dari kerajaanya dan meninggalkan sang ratu di kerajaan. Ia berlari hingga sampai di sebuah desa bernama Cengkal Sewu dan menyamarkan identitasnya dengan mengenakan pakaian rakyat biasa.

Demikian pula Raden Lembu Nisroya juga melarikan diri dari kerajaan Majapahit bersama dengan isterinya. Ketika mereka telah sampai di sebuah daerah bernama Pasuruan, maka mereka bersembunyi di daerah bernama Puger. Sedangkan Arya Jambul bersama isterinya melarikan diri hingga ke negeri di lereng gunung kelud dan bersembunyi disana.

Di kerajaan Majapahit hanya tinggal Ratu Marta Ningrum beserta ke-empat puluh wanita yang merupakan para pembantu di kerajaan. Maka oleh sang ratu mereka disuruh untuk mengenakan pakaian Islam dan bersama dengan Beliau diajak untuk masuk dalam agama Islam. Seluruh pembantu Kerajaan ini pun mengikuti beliau untuk masuk Islam.

Ketika pasukan Muslimin telah sampai di kerajaan Majapahit ternyata pintu kerajaan telah terkunci dari dalam. Dengan sekali tendangan kaki Raden Syahid maka terbukalah pintu tersebut sehingga pasukan Islam dengan mudahnya dapat memasuki kerajaan Majapahit. Ternyata tidak ada siapapun di dalam kerajaan tersebut kecuali hanya beberapa orang wanita saja. Maka Ratu Martaningrum menjelaskan bahwa seluruh penghuni kerajaan telah melarikan diri dan tinggal mereka saja yang ada di kerajaan. Beliau bersama para wanita yang tersisa semua telah masuk ke dalam agama Islam. Mendengar penjelasan sang Ratu, maka seluruh pasukan Islam yang hadir saat itu serentak mengucap hamdalah.


Pertemuan 25 : Kekuatan terakhir milik Majapahit di daerah terung

Adapun keadaan Adipati Pecat tundo, ketika sampai di terung maka ia membuat benteng yang dijaga ketat oleh para pasukan dengan persenjataan lengkap. Hal itu ia lakukan sebab amat takutnya dia jika  didatangi oleh Raden Amir Haji yang hendak membalaskan dendam atas kematian ayahnya. Maka raden Syahid meninggalkan Majapahit menuju ke negeri Terung bersama dengan 7 orang pemuda. Ketika sampai di tengah perjalanan, mereka berhenti saat mengetahui bahwa Adipati Pecat Tundo tengah mempersiapkan beberapa pasukan penjaga di benteng negeri Terung dipersenjatai dengan lengkapnya.

Kemudian Sayyid Amir Haji menuliskan sebuah surat kepada Adipati Pecat Tundo dan mengirimkan surat yang berisi peringatan juga juga nasehat itu kepadanya. Inti dari surat itu adalah agar ia kembali kepada Agama Islam dan tidak menolong kuffar majapahit hanya demi harta duniawi. Beliau ingin agar Adipati Pecat Tundo bertaubat sebab bagaimanapun ia adalah teman beliau ketika dulunya bersama-sama nyantri di pesantren Ampeldenta pada Sayyid Rahmat. Maka surat itu dikirim melalui seorang utusan. Ketika Adipati Pecat Tundo membukanya maka jatuhlah air matanya. Sebab sang panglima perang Sunan Kudus berjanji akan memaafkanya walaupun ayah Beliau telah wafat ditanganya asalkan ia bersegera menemui beliau di desa Sarirogo. Namun demikian ia tetap menyimpan perasaan takut dan khawatir jikalau janji dalam surat itu hanyalah siasat belaka untuk menangkap dirinya. Salah satu sahabat dari Adipati Pecat Tundo yakni pemimpin Terasaba menasehatinya bahwa surat itu bukanlah suatu siasat, melainkan janji yang benar dari seorang panglima perang. Ia yakin bahwa pasukan Islam yang ia takutkan sebenarnya adalah para kekasih Allah yang berjuang bukan untuk duniawi melainkan murni mengharap pahala di akherat. Atas nasehat tersebut maka terbukalah hati adipati Pecat Tundo.

Maka adipati Pecat tundo memerintahkan kepada seluruh pasukanya untuk berkumpul dan menyerahkan diri kepada pasukan Islam dan dilaksanakanlah perintah tersebut. Para punggawa terung bersegera mengumpulkan barang-barang berharga mereka yang mudah untuk dibawa dan mereka berjalan menuju desa Sariraga bersama para wanita, anak-anak serta sedikit dari harta yang mereka miliki. Setelah mereka bertemu dengan pasukan Muslim, Raden Amir Haji (Sunan Kudus) berhadapan dengan sang Adipati Pecat Tundo ini. Sang Adipati duduk dengan menundukan kepalanya, merasa hina, hingga menetes air di pelupuk matanya. Ia menyatakan pasrah atas apapun keputusan dari temanya ini, serta menyatakan taubat kepada Allah SWT atas kesalahan yang pernah ia lakukan sebelumnya. Ia pasrah dengan apa yang akan terjadi padanya.

Raden Amir Haji kemudian menanyakan alasan kenapa Adipati Pecat Tundo ini menangis, dan Ia mengingatkan bahwa tangisanya tidaklah bermanfaat apapun jika dirinya tidak bertaubat kepada Allah SWT dengan taubat yang sesungguhnya. Beliau menasehati agar sang Adipati bersungguh-sungguh bertaubat pada Allah SWT, sebab  DIA yang telah menunjukan mana jalan yang benar dan mana jalan yang buruk. Agar sang adipati berfikir dengan pemikiran yang jernih serta hati yang bersih, mengikuti kata hati sanubarinya tentang mana yang benar dan mana yang salah. Agar ia ingat bahwa Allah SWT-lah yang lebih mampu memberikan keluarga juga harta yang banyak. Serta pemberi nikmat yang tiada tandinganya, agar ia tidak melupakan hal demikian.

Kemudian Raden Amir Haji berkata kepada seluruh yang hadir di hadapanya untuk mengikuti beliau menuju ke Majapahit, maka seluruh hadirin pun mengikuti beliau menuju Majapahit. Setelah semua kaum muslimin bersama para pemimpin mereka berkumpul, Sayyid Amir Haji memerintahkan agar seluruh kerajaan Majapahit milik Brawijaya beserta bangunan-bangunanya dirobohkan dan barang berharga yang mudah dibawa diperintahkan untuk dibawa pulang ke negeri Demak. Maka dilaksanakanlah perintah tersebut, dan diboyonglah Ratu Marta Ningrum menggunakan kereta khusus ratu diiringi beberapa pelayan dan pengikutnya menuju Demak. Maka pasukan Islam membawa banyak barang rampasan perang dalam keadaan haru kemenangan untuk kembali menghadap Raden Rattah.


Pertemuan 26 : Akhir Kisah Pecat Tundo dengan Raja Demak

 Setelah sampai di demak, bertemulah kedua saudara yakni Raden Husein (Adipati Pecat Tundo) dengan Raden Fattah. maka Raden Husein menyatakan pasrah atas keputusan sang raja agung demak ini. Beliau mengakui kesalahanya, dan meminta maaf kepada saudaranya itu seraya memohon ampunan dari Allah SWT. Maka Raden Fattah menjawabi beliau agar menyembunyikan maksudnya, dan tak perlu banyak diucap. Yang terpenting adalah kesungguhan dan bukti taubat sebagaimana sayyidina Yusuf AS berkata kepada saudara-saudaranya yang bertaubat atas kesalahan mereka :

Artinya :   092. Dia (Yusuf) berkata: "Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang." (QS. Yusuf : 92)

Dari sini maka berakhirlah kekuasaan kerajaan budha dan hancurlah kerajaan Majapahit serta berpindahlah kekuasaan mereka menuju ke Demak dibawah kekuasaan pimpinan Islam Raden Fattah. Beliau memimpin kerajaan Demak dengan penuh keadilan dan penuh kasih sayang kepada kaum mukminin. Dengan bagusnya perangai Beliau hingga mampu mengajak manusia menuju Allah SWT. Beliau yang tajam matahatinya serta amat sempurna akhlak perilakunya mampu menciptakan kehidupan yang damai di Kota Wali Demak Bintoro yang terpancar cahaya agama Islam disana hingga sekarang ini.

Dengan ini, berakhir pula cerita dalam kitab ini, segala puji bagi Allah SWT Dzat yang kerajaan-Nya tiada pernah rusak serta kekuasaanya yang tiada pernah berakhir pun tiada yang bisa memaksa-Nya atas segala sesuatu. Dan dalam hal tersebut terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mau berfikir, sebab awal mula orang Islam itu adalah mulia yang kemudian menjadi lemah nan hina. Ketika mereka awalnya pemberani dan ditakuti kemudian akan menjadi lemah dan dijauhi jika mereka telah berani meninggalkan perintah Tuhanya serta menerjang larangan-Nya. Dan ketika mereka dipermainkan oleh hawa nafsunya serta takut pada kekuasaan musuh Islam. Diantara hal tersebut adalah membenarkan sabda Rasulillah Muhammad SAW ;

إذاتبايعتم بالعينية وأخذتم بأذناب البقر ورضيتم بالزرع وتركتم الجهاد في سبيل الله سلط الله عليكم ذلا لاينتزعه حتى ترجعوا إلى دينكم (رواه أبوداوود)

ولاحول ولاقوة إلابالله العلي العظيم. والله المستعان . وعلى الله التُّكلان . ونسئل اللهَ أن ينزعَ عنّا ذلّنا ويرجعنا إلى ديننا بتوفيقه ومنّه وجوده وكرمه آمين......

 

PENUTUP

Alhamdulillah, atas izin Allah SWT telah selesai penulisan resume kitab Ahlal Musamaroh ini tepat pada Malam 27 Rojab 1442 H hari Rabu, 10 Maret 2021. Semoga sedikit tulisan ini dapat memperkaya referensi kita dalam dunia tarikhul auliya’ dan menjadi ilmu yang baarokah dan manfaat bagi sesama. Atas segala kekurangan dalam penulisan buku ini kami sampaikan permohonan maaf sebanyak-banyaknya.

 

                                                                                Al-Haqiir Al-Mudznib : Rifaudin Ahmad



BAgi yang menginginkan file PDF hikayat diatas, bisa download pada link berikut ini : https://drive.google.com/file/d/1OCoYuhNNh6QzsqAuN26dh0Ts-Iu68twA/view?usp=sharing


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perangkat Pembelajaran Akidah Akhlak selama Covid-19

Akidah AKhlak Kelas 7 Pertemuan ke-15 Keteladanan Nabi Sulaiman