Semester Genap Fiqih Kelas 9 Pertemuan ke-1

Materi Semester Genap Mata Pelajaran Fiqih Kelas IX

Pertemuan ke-1

 

BAB. 1 

HUTANG PIUTANG (DAIN/QIRODH), GADAI (RAHN) DAN HIWALAH 

 

1. Pengertian Utang Piutang
Utang piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian bahwa dia akan mengembalikan sesuatu yang diterimanya dalam jangka waktu yang disepakati. Utang piutang disebut dengan “dain” ( دين ). Istilah “dain” ( دين ) ini juga sangat terkait dengan istilah “qard” ( قرض ) yang bahasa artinya memutus. Dalam istilah fikih artinya memberikan harta kepada oramng yang akan memanfatkannya dan mengemba;likan gantinya di kemudian hari.
 

2. Dasar hukum hutang piutang
Dasar disyariatkan ad Dain/qardh (Hutang piutang) adalah Al Qur’an , Hadits dan Ijma’
a. Dasar dari al Qur’an surat al Baqarah ayat 245

  

Artinya : “siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”
Ayat ini menganjurkan kepada orang yang berpiutang (muqrid) untuk memberikan bantuan kepada orang lain dengan cara memberi utang dan pahalanya akan dilipatgandakan oleh Allah SWT. Dari sisi Muqtarid (orang yang berhutang) diperbolehkan untuk berhutang untuk hal yang bermanfaat unuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan akan mengembalikannya sama dengan jumlah yang diterimanya.


b. Hadits Rasulullah SAW


Artinya : "Tidak ada seorang muslim yang memberi hutang kepada seorang muslim dua kali kecuali seolah-olah dia telah bersedekah kepadanya dua kali". (HR. Ibnu Majah)
Hadits ini menjelaskan bahwa orang yang berpiutang (Muqrid) akan diberi pahala yang berlipat ganda dimana dalam satu kali menghutangi seperti pahala sadaqah dua kali.


3. Hukum Utang Piutang
Hukum memberi utang piutang bersifat fleksibel tergantung situasi dan kondisi, yaitu:
a. Hukum orang yang berhutang adalah mubah (boleh) sedangkan orang yang memberikan hutang hukumnya sunah sebab ia termasuk orang yang menolong sesamanya.
b. Hukum berhutang dan menghutangi menjadi wajib, jika peminjam itu benar-benar dalam keadaan terdesak, misalnya hutang beras bagi orang yang kelaparan, hutang uang untuk biaya pengobatan dan lain sebagainya, maka Rasulullah saw bersabda yang Artinya : "Tidak ada seorang muslim yang memberi pinjaman kepada seorang muslim dua kali kecuali seolah-olah dia telah bersedekah kepadanya dua kali". (HR. Ibnu Majah)
c. Hukum memberi hutang bisa menjadi haram, misalnya memberi hutang untuk hal-hal yang dilarang dalam ajaran Islam seperti untuk membeli minuman keras, menyewa pelacur dan sebagainya.
Dalam hutang piutang dilarang memberikan syarat dalam mengembalikan hutang. Contoh : Fatimah menghutangi Ahmad Rp. 100.000,- dalam waktu 3 bulan Ahmad harus mengembalikan hutangnya menjadi Rp.110.000,-. Tambahan ini termasuk riba (tidak halal).
Tetapi jika tambahan ini tidak disyaratkan waktu aqad tetapi sukarela dari peminjam sebagai bentuk terima kasih, maka hal ini tidak termasuk riba bahkan dianjurkan.
Rasulullah bersabda :


Artinya :“Dari Abu Hurairah ia berkata Rasulullah SAW telah berhutang binatang ternak, kemudian Beliau membayar dengan binatang yang lebih besar umurnya dari binatang yang Beliau pinjam itu, dan Rasulullah bersabda : Orang yang paling baik di antara kamu adalah orang yang dapat membayar hutangnya dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad At-Turmudzi dan telah menshohehkannya).


4. Ketentuan dalam Utang Piutang
Dalam kehidupan bermasyarakat, sering terjadi pertikaan antar warga. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya pemahaman merekatentang ketentuan utang piutang yang seharusnya. Untuk menghindari perselisihan yang tidak diinginkan, maka kedua belah pihak perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Hutang piutang harus ditulis dan dipersaksikan.
Dalilnya firman Allah :


Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.”. (QS. Al-Baqarah: 282)
 

b. Pemberi hutang tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berhutang.
Kaidah fikih berbunyi:


Artinya: “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”.
Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan.
 

c. Melunasi hutang dengan cara yang baik

Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: “Nabi mempunyai hutang kepada seseorang,(yaitu) seekor unta dengan usia tertentu. Orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata: “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah swt. membalas dengan setimpal”. Maka Nabi saw. bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (hutang)”. (HR. Bukhari)
 

d. Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya

Dari Abu Hurairah ra., ia berkata bahwa Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya, pent), maka Allah akan membinasakannya”. (HR. Bukhari)
 

e. Tidak berhutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.
Maksudnya kondisi yang tidak mungkin lagi baginya mencari jalan selain berhutang sementara keadaan sangat mendesak, jika tidak akan kelaparan atau sakit yang mengantarkannya kepada kematian, atau semisalnya.
 

f. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman.
Karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan. Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
 

g. Bersegera melunasi hutang
Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu. Sebab orang yang menunda-menunda pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zhalim. Sebagaimana hadits berikut:

Dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zhalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah beralih (diterima pengalihan tersebut)”. (HR. Bukhari Muslim).


h. Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo.
Allah swt. berfirman: 


Artinya: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baikbagimu, jika kamu Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).

 Untuk mendapatkan file PDF materi diatas, silakan download disini : https://drive.google.com/file/d/13K7WIouS5uKyMwka2Tg-ub7E6uCASCTy/view?usp=sharing

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perangkat Pembelajaran Akidah Akhlak selama Covid-19

Akidah AKhlak Kelas 7 Pertemuan ke-15 Keteladanan Nabi Sulaiman