Semester Genap Fiqih Kelas 9 Pertemuan ke-3

PERTEMUAN 3

3. Rukun dan Syarat Gadai

a. Rukun gadai ada tiga, yaitu:

1) Shighat (ijab dan qabul).

2) Al-‘aqidan (dua orang yang melakukan akad ar-rahn), yaitu pihak yang menggadaikan (ar-râhin) dan yang menerima gadai/agunan (al- murtahin).

3) Al-ma’qud ‘alaih (yang menjadi obyek akad), yaitu barang yang digadaikan/diagunkan (al-marhun) dan utang (al-marhun bih).

Selain ketiga ketentuan dasar tersebut, ada ketentuan tambahan yang disebut syarat, yaitu harus ada serah terima (Ijab Qobul) .

Jika semua ketentuan tadi terpenuhi, sesuai dengan ketentuan syariah, dan dilakukan oleh orang yang layak melakukan tasharruf (tindakan), maka akad gadai tersebut sah.

b. Syarat gadai:

Disyaratkan dalam transaksi gadai hal-hal berikut:

1) Syarat yang berhubungan dengan orang yang bertransaksi yaitu Orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal dan rusyd (kemampuan mengatur).

2) Syarat yang berhubungan dengan Al-Marhun (barang gadai) ada tiga:

a) Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi hutangnya, baik barang atau nilainya ketika tidak mampu melunasinya.

b) Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang dizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.

c) Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis dan sifatnya, karena gadai adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini.

3) Syarat berhubungan dengan Al-Marhun bihi (hutang) adalah hutang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.

 

4. Ketentuan Umum Dalam Gadai

Ada beberapa ketentuan umum dalam muamalah gadai setelah terjadinya serah terima barang gadai. Di antaranya:

a. Barang yang Dapat Digadaikan.

Barang yang dapat digadaikan adalah barang yang memiliki nilai ekonomi, agar dapat menjadi jaminan bagi pemilik uang. Dengan demikian, barang yang tidak dapat diperjual-belikan, dikarenakan tidak ada harganya, atau haram untuk diperjualbelikan, adalah tergolong barang yang tidak dapat digadaikan. Yang demikian itu dikarenakan, tujuan utama disyariatkannya pegadaian tidak dapat dicapai dengan barang yang haram atau tidak dapat diperjual-belikan.

b. Barang Gadai Adalah Amanah.

Barang gadai bukanlah sesuatu yang harus ada dalam hutang piutang, dia hanya diadakan dengan kesepakatan kedua belah pihak, misalnya jika pemilik uang khawatir uangnya tidak atau sulit untuk dikembalikan. Jadi, barang gadai itu hanya sebagai penegas dan penjamin bahwa peminjam akan mengembalikan uang yang akan dia pinjam. Karenanya jika dia telah membayar utangnya maka barang tersebut kembali ke tangannya..

c. Barang Gadai Dipegang Pemberi utang.

Barang gadai tersebut berada di tangan pemberi utang selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah: 283).

 

5. Pemanfaatan Barang Gadai.

Pihak pemberi utang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian. Sebab, sebelum dan setelah digadaikan, barang gadai adalah milik orang yang berutang, sehingga pemanfaatannya menjadi milik pihak orang yang berutang, sepenuhnya. Adapun pemberi utang, maka ia hanya berhak untuk menahan barang tersebut, sebagai jaminan atas uangnya yang dipinjam sebagai utang oleh pemilik barang. Namun di sana ada keadaan tertentu yang membolehkan pemberi utang memanfaatkan barang gadaian, yaitu bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diperah air susunya, maka boleh menggunakan dan memerah air susunya apabila ia memberikan nafkah untuk pemeliharaan barang tersebut. Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan.

 

6. Biaya Perawatan Barang Gadai.

Jika barang gadai butuh biaya perawatan misalnya hewan perahan, hewan tunggangan, dan budak (sebagaimana dalam As-sunnah) maka:

a. Jika dia dibiayai oleh pemiliknya maka pemilik uang tetap tidak boleh menggunakan barang gadai tersebut.

b. Jika dibiayai oleh pemilik uang maka dia boleh menggunakan menggunakan barang tersebut sesuai dengan biaya yang telah dia keluarkan, tidak boleh lebih.

 

7. Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai.

Apabila pelunasan utang telah jatuh tempo, maka orang yang berutang berkewajiban melunasi utangnya sesuai denga waktu yang telah disepakatinya dengan pemberi utang. Bila telah lunas maka barang gadaian dikembalikan kepada pemiliknya. Namun, bila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya, maka pemberi utang berhak menjual barang gadaian itu untuk membayar pelunasan utang tersebut. Apa bila ternyata ada sisanya maka sisa tersebut menjadi hak pemilik barang gadai tersebut. Sebaliknya, bila harga barang tersebut belum dapat melunasi utangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa utangnya

8. Hikmah Gadai.

Gadai disyari'atkan untuk memelihara harta agar tidak hilang hak pemberi pinjaman. Apabila telah jatuh tempo, yang memberi jaminan wajib membayar. Jika ia tidak bisa membayar, maka jika penggadai mengijinkan kepada yang mendapat jaminan dalam menjualnya, ia menjualnya dan membayar hutang. Dan jika tidak, penguasanya memaksanya membayarnya atau menjual barang yang digadaikan. Jika ia tidak melakukan, niscaya penguasa/pemerintah menjualnya dan membayarkan hutangnya.

Gadai adalah amanah di tangan penerima gadai (kreditor) atau orang yang diberi amanah, ia tidak bertanggung jawab kecuali ia melakukan tindakan melewati batas atau melakukan kelalaian. 

 

======================================================================

Untuk mendapatkan file PDF materi diatas, silakan download disini : https://drive.google.com/file/d/1jQKwWjFVDfgKRlsvnRzd_IVBvsQ466Nf/view?usp=sharing

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perangkat Pembelajaran Akidah Akhlak selama Covid-19

Akidah AKhlak Kelas 7 Pertemuan ke-15 Keteladanan Nabi Sulaiman